posting : junetfhoto.blogspot.com
Channel Youtube : bang junetfhoto
MAKALAH
AGAMA ISLAM
HUKUM
TAKLIFI
![]() |
DI
SUSUN OLEH :
HERDIANTI
RUKMANA
NURHALIZAH
MIFTAHUL
FAJRIANSYAH
HAERIL
MUH.
TEGAR PRATAMA
SMA
NEGERI 14 SINJAI TP.2017/2018
KATA
PENGANTAR
Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah
memberi rahmat dan nikmatnya yang tak ternilai harganya, sehingga penulis telah
selesai menulis makalah ini yang berjudul : HUKUM TAKLIFI
Selanjutnya salam sejahtera juga penulis haturkan kepada tokoh ilmuan
sedunia yaitu Nabi Muhammad Saw yang merupakan salah seorang yang sudah
terbukti keberhasilannya dalam hal mengajarkan nilai nilai kebenaran ataupun
mendidik, merobah peradaban manusia, dan sikap serta cara pandang dan pola
hidup sebagai mana layaknya.
Terimakasih kepada kawan-kawan yang ikut memberi andil, serta motivasi
dalam rangka penulisan makalah ini.
Sinjai 27 September
2017
Kelompok 5
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..…….ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….....iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………..1
A. Latar
belakang..............................................................................................
1
B. Rumusan
masalah.......................................................................................
1
C.
Tujuan
.......................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………...2
A. Pengertian
hukum taklifi................................................................................
2
B. Perbedaan
hukum taklifi dengan hukum wadh’i........................................... 2
C.
Pembahasan-pembahasan hukum taklifi dalam ushul fiqh............................
3
1. Wajib............................................................................................................
4
2. Mandub /
Sunat............................................................................................
7
3.
Haram..........................................................................................................
11
4.
Makruh.........................................................................................................
12
5.
Mubah.........................................................................................................
13
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………..…..15
A.
Kesimpulan.................................................................................................
15
B. Saran
..........................................................................................................
15
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...16
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan
adalah hukum pemberian beban sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah
yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah
ini langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf (balig dan berakal sehat).
Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk
melakukan dan meninggalkan suatu
perbuatan secara pasti.
Pembahasan tentang hukum taklifi’ adalah salah satu dari
beberapa kajian Ushul Fiqh. Bahkan salah satu tujuan utama dari studi Ushul
Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum taklifi’ dari sumber-sumbernya. Oleh
karena begitu penting kedudukan hukum taklifi’ dalam pembahasan ini, maka pada
pembahasan ini akan dipaparkan penjelasan tentang hal-hal tersebut.
B. Rumusan
Masalah
a. Apa itu
hukum taklifi ?
b. Apa saja
perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’I ?
c. Apa saja
pembahasan-pembahasan hukum taklifi dalam ilmu Ushul Fiqh ?
C. Tujuan
a. Mengetahui
tentang hukum taklifi
b. Mengetahui
perbedaan-perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’i
c. Mengetahui
macam-macam pembahasan hukum taklifi dalam ilmu Ushul Fiqh
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Taklifi
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti
“ mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm)
berarti: Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik
berupa Iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk
meninggalkan), Takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara
melakukan dan tidak melakukan), atau Wald (ketentuan yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau mani’ [penghalang]).
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan
(untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung
pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Dengan kata lain adalah yang
dituntut melakukannya atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih
antara memperbuat dan tidak memperbuat.
B. Perbedaan
Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i
Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh
membagi hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
ü Hukum taklifi
menurut para ahli Ushul Fiqh adalah:
Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan
langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran
untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk
memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat.
ü Sedangkan yang
dimaksud dengan hukum wadh’i adalah:
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab,
syarat dan mani (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan
hukum taklifi.
Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum
tersebut:
1) Hukum
taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan
terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan
suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa
shalat wajub dilaksanakan umat Islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu
matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang
menunaikan shalat zuhur.
2) Hukum
taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuanseorang
mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang di luar kemampuan manusia
dan bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya seperrti dalam contoh di atas
tadi, keadaan tergelincir matahari bukan dalam kemampuan manusia dan bukan pula
merupakan aktivitasnya. Hubungannya dengan perbuatan manusia hanyalah karena
Allah menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai tanda bagi masuknya waktu
shalat zuhur.
C.
Pembahasan-pembahasan Hukum Taklifi dalam ushul fiqh
Golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh
bagian, yaitu dengan membagi firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan
dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab.
Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan
dengan dalil yang qath’i, seperti dalil Al-Quran dan hadis mutawatir maka
perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasarkan dalil yang
zhanni, maka ia dinamakan ijab. Begitu pula larangan. Bila larangan itu
berdasarkan dalil zhanny, maka ia disebut karahah tahrim.
Dengan pembagian seperti di atas, golongan Hanafiyah
membagi hukum taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb, dan
ibahah.
Sekalipun golongan yang disebut terakhir ini membagi
hukum taklifi kepada tujuh bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat membagi
hukum tersebut kepada lima bagian seperti yang telah disebut di atas. Kelima
macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itulah
yang dinamakn al-hakam al-khamsah oleh ahli fiqih, yaitu wajib, haram, mandub,
makruh, dan mubah.
1. Wajib
a.
PengertianWajib
Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah:
“Wajib menurut syara’ ialah apa yang dituntut oleh syara’
kepada mukallaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras.”
Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan jika
dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan akan berdosa.
Wajib ini dapat dikenal melalui lafal atau melalui tanda
(qarinah) lain. Wajib yang ditunjuk melalui lafal seperti dalam bentuk lafal
amar (perintah) dalam firman Allah:
Artinya: “... dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
(QS. Thaha:14)
Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam
kalimat itu sendiri yang menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu ....” (QS.
Al-Baqarah: 183)
b. Pembagian
Wajib
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:
1) Dilihat
dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat dibagi dua:
a. Wajib
mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca
fatihah dalam shalat.
b. Wajib
mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang
telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi tiga alternatif,
memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin,
atau memerdekakan budak.
2) Dilihat
dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untuk mengerjakan yang
diwajibkan.wajib yang seperti ini dapat dibagi menjadi dua macam:
a. Wajib muwassa’,
waktu yang tersedia untuk melaksanakan yang diwajibkan itu lebih luas atau
lebih banyak dari waktu mengerjakan kewajiban itu. Misalnya shalat zuhur. Waktu
yang tersedia untuk melaksanakan shalat zuhur jauh lebih lapang dibandingkan
dengan waktu yang terpakai untuk melaksanakan shalat zuhur. Maka wajib yang
seperti ini dapat dilaksanakan pada awal waktu atau pada pertengahan waktu atau
pada akhir waktu. Jika wajib muwassa’ ingin dikerjakan pada pertengahan atau
akhir waktu maka menurut para ulama hendaklah berniat setelah tiba waktunya
(awal waktu) untuk menunda pelaksanaannya pada waktu yang diinginkan karena
kalau tidak diniatkan maka mungkin termasuk orang yang melalaikan waktu.
b. Wajib mudhayyiq,
yakni yang waktunya yang tersedia persis sama atau sama banyak dengan waktu
mengerjakan kewajiban itu. Seperti puasa bulan Ramadhan. Puasa itu sendiri
menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan. Karena itulah wajib mudhayyiq tidak
dapat ditunda dari waktu yang tersedia untuk mengerjakannya.
3) Dilihat
dari segi orang yang harus mengerjakannya, terbagi kepada dua bagian:
a. Wajib ‘ain,
ialah tuntutan syara’ untuk melaksanakan sesuatu perbuatan dari setiap mukallaf
dan tidak boleh diganti oleh orang lain, seperti kewajiban mengerjakan shalat,
puasa, zakat, dan haji. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
b. Wajib kifayah,
ialah wajib yang dibebankan kepada sekelompok orang dan jika ada salah seorang
yang mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap sudah terlaksana, namun bila
tidak ada seorangpun yang mengerjakannya, maka berdosalah sekelompok orang
tersebut. seperti amar ma’ruf dan nahi munkar, shalat jenazah, mendirikan rumah
sakit, sekolah, dan lain sebagainya.
4) Dilihat
dari segi kadar (kuantitas)nya dan bentuk tuntutan, terbagi kepada dua:
a. Wajib
muhaddad, ialah yang ditentuka oleh syara’ bentuk perbuatan yang dituntut dan
mukallaf dianggap belum melaksanakan tuntutan itu sebelum melaksanakan seperti
yang telah dituntut oleh syara’ atau dengan kata lain adalah kewajiban yang
telah ditentukan kadar atau jumlahnya. Contohnya shalat, zakat, dan pelunasan
hutang. Shalat lima waktu telah ditetapkan waktunya, jumlah rakaatnya, rukun
dan syaratnya. Zakat telah ditetapkan jenis benda yang wajib dizakati dan
jumlah zakat yang wajib dikeluarkan. Wajib muhaddad kalau tidak dilaksanakan
maka menjadi hutang dan boleh diambil dengan paksa.
b. Wajib ghairu
muhaddad, ialah perbuatan yang wajib dan tidak wajib yang tidak ditentukan cara
pelaksanaanya dan waktunya atau kewajiban yang tidak ditentukan batas
bilangannya, seperti infak fi sabilillah, memberi bantuan kepada orang yang
berhajat, tolong menolong, dan lain sebagainya. Wajib ghairu muhaddad jika
tidak dilaksanakan tidak menjadi hutang dan tidak boleh dipaksa.
Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005)
mengatakan bahwa hokum taklifi tentang wajib yaitu :[1]
Ø Tuntutan untuk
memperbuat secara pasti, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat
ganjaran dan apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman Allah Swt, yang disebut
dengan istilah “wajib”.
Contohnya: mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya.
Firman Allah SWT :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
"Dirikanlah solat dan keluarkan zakat dan taatilah
perintah Rasul, mudah-mudahan kamu dirahmati Allah". An-Nur : 56
1. Pembagian
wajib ditinjau dari segi wakyu pelaksanaan.
a. Wajib
muthlaq
Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya,
dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu
melaksanakannya.Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak
ditentukan oleh syara’
b. Wajib muaqqad
Yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dan
tidak sah bila dilakukan diluar waktu tersebut. Contohnya puasa ramadhan. Wajib
ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Wajib muwassa’
Yaitu kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu
melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu.
contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya dari petang sampai subuh.
[1] Amir syrifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:fajar interpratama
offset. hal 333-355
Wajib mudhayyaq
Yaitu suatu kewajiban yang menyamai waktunya dengan
kewajiban itu sendiri. Contohnya puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama
yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
Wajib dzu
syahnaini
Yaitu kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu
dan waktunya mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq.yaitu
waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya
ibadah haji.
2. Pembagian
wajib dari segi pelaksana.
Wajib ‘ain
Wajib kifayah
3. Pembagian
wajib dari segi kadar yang dituntut.
Wajib muhaddad
Kewajiban yang ditentukan kadarnya. contoh : zakat
Wajib ghairu
muhaddad
Yaitu kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya.
4. Pembagian
wajib dari segi bentuk perbuatan yang dituntut.
Wajib mu’ayyan.
Wajib yang
ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
Wajib mukhayyar
Wajib yang diberi
kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
2. Mandub
a. Pengertian
Mandub
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan mandub
ialah:
“ Yang dituntut oleh syara’ memperbuatnya dari mukallaf
namun tnututannya tidak begitu keras.”
Atau dengan kata lain segala perbuatan yang dilakukan
akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa
atau dosa (‘iqab).
Perbuatan mandub dapat dikenal melalui lafal yang
tercantum dalam nash seperti dicantumkan kata “disunnatkan” atau “dianjurkan”
atau dibawakan dalam bentuk amar namun ditemui tanda yang menunjukkan bahwa
tuntutan itu tidak keras dari nash itu sendiri. Seperti dalam firman Allah:
Contohnya ialah sunat menulis/mencatatkan hutang..
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ
كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ
فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ
الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ
صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا
تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا
شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
menjalankan sesuatu urusan dengan hutang piutang yang diberikan tempoh sehingga
ke suatu masa yang tertentu, maka hendaklah kamu menulis (hutang dan masa
bayarannya) itu.
(QS. Al-Baqarah 282)
Dalam ayat lain diterangkan:
Artinya: “... maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu
tidak menulisnya....”
(QS. Al-Baqarah
282)
Ayat yang kedua ini dapat dipahami bahwa menulis hutang
piutang itu hanya mandub (sunnat). Dan juga mungkin tanda yang dapat
dipergunakan untuk memalingkan amar yang mempunyai arti wajib ke arti mandub
melalui kaidah umum agama atau melalui kaidah fiqih dan mungkin juga ditunjuk
oleh urutan hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
b. Pembagian
Mandub
Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi menyamakn arti
sunat dan nafal dengan mandub, mandub menurut mereka ada tiga macam:
1) Sunat Hadyi
ialah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk menyempurnakan perbuatan wajib
seperti azan dan shalat berjamaah. Orang yang meninggalkan perbuatan yang
seperti ini dikatakan tersesat dan tercela dan kalau seandainya seisi kampung
bersepakat meninggalkannya maka mereka dapat diperangi.
2) Sunat Zaidah
ialah semua perbuatan yang dianjurkan memperbuatnya sebagia sifat terpuji bagi
mukallaf karena mengikuti jejak nabi sebagai manusia biasa seperti dalam makan,
minum, tidur dan sebagainya dan kalau perbuatan itu dilakukan menjadi kebaikan
bagi mukallaf dan kalau ditinggalkan tidak dapat dikatakan makruh.
3) Nafal ialah
perbuatan yang dianjurkan memperbuatnya sebagai pelengkap dari perbuatan wajib
dan sunat seperti shalat sunat. Perbuatan yang seperti itu kalau diperbuat akan
memperoleh pahala dan kalau ditinggalkan tidak akan mendapat siksa dan tidak
pula dicela.
Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab,
dan terbagi kepada:
a) Sunat ‘ain,
ialah segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukallaf untuk
dikerjakan, misalnya shalat sunat rawatib.
b) Sunat
kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh
salah seorang saja dari suatu kelompok, seperti mengucapkan salam, mendoakan
orang bersin, dan lain sebagainya.
Para ulama dalam kalangan mazhab Syafi’i membagi mandub
menjadi dua macam ialah:
1) Sunat
muakkad, ialah perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dikenakan
siksa bagi yang meninggalkannya tetapi dicela. Contohnya perbuatan sunat yang
menjadi pelengkap perbuatan wajib seperti azan, shalat berjamaah, shalat hari
raya, berkurban dan akikah, karena perbuatan-perbuatan yang seperti itu selalu
diperbuat Rasulullah SAW. hanya sekali atau dua kali beliau tinggalkan yang
menunjukkan perbuatan itu bukan wajib namun digemari oleh beliau.
2) Sunat
Ghairu muakkad, ialah segala perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak
dicela meninggalkannya tetapi Rasulullah SAW. sering meninggalkannya, atau
dengan kata lain yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu
dikerjakan Rasul.
Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005)
mengatakan bahwa hokum taklifi tentang sunat yaitu:[2]
Ø Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan
arti perbuatan itu dituntut untuk di kerjakan. Yaitu suatu perbuatan yang
apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf akan mendapat ganjaran di sisi Allah
Swt. Dan apabila ditinggalkan tidak mendapat ancaman dari Nya, yang dikenal
dengan istilah “Nadb(sunat)”.
Contohnya: sedekah, berpuasa pada hari senin dan kamis,
dll.
Mandub(sunah) dibagi menjadi;
1. Dari segi
selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut. Sunah terbagi dua;
Sunah muakkadah
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh nabi disamping ada
keteranganyang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang
fardhu.
Sunah ghairu
muakkadah
Yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh nabi, tetapi
nabi tidak melazimkan dirinya dengan perbuatan tersebut.
2. Dari segi
kemungkinan meninggalkan perbuatan, sunah terbagi dua, yaitu;
Sunah hadyu
Yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena
begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya
dianggap sesat. Contohnya shalat hari raya.
[2] Amir syarifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:Fajar
interpratama offset. Hal 356-362
Sunah zaidah
Yaitu sunah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan
baik dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Yaitu kesukaan Nabi yang bagus
bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
Sunah nafal
Yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi
ibadah wajib
3. Haram
a. Pengertian
Haram
Para ahli ushul mengatakan tentang haram ialah:
“apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak melakukannya
dengan tuntutan keras.”
Atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan kalau
diperbuat akan mendapat siksa dan kalau ditinggalkan akan mendapat pahala.
Tuntutan yang seperti ini dapat diketahui melelui lafal
nash seperti dalam firman Allah:
Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi (daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah... ( QS.
Al-Maidah 3)
b. Pembagian
Haram
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:
1) Haram li
zatihi, ialah haram karena perbuatan itu
sendiri, atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram yang memang diharamkan sejak
semula. Misalnya membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain.
2) Haram li
gairihi, ialah Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena
faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah,
berubah menjadi haram ketika azan jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan
puasa Ramadhan yang semulanya wajib berubah berubah menjadi haram kerena dengan
berpuasa itu akan menimbulakn sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu
juga dengan lainnya.
Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi membagi haram ini
menjadi dua macam yang dilihat dari segi kekuatan dalil yang menetapkan ialah:
1) Haram yang
ditetapkan melalui dalil qath’i ialah harm dari Al quran, Sunnah Mutawatir dan
Ijma. Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’i ini sebagi kebalikan
fardhu. Contohnya seperti larangan
berbuat zina seperti yang diterangakan dalam ayat 32 Surah Al Isra’.
2) Haram yang
ditetapkan melalui dalil zanni seperti hadis Ahad dan kias dan haram seperti
ini sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut tahrim. Contohnya
seperti larangan bagi kaum pria memakai perhiasan emas dan kain sutra murni
yang diterangkan dalam hadis ahad yang diantaranya:
“kedua ini haram atas umatku yang lelaki”(HR Abu Daud,
Ahmad dan Nasai dari Ali bin Thalib)
Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005)
mengatakan bahwa hokum taklifi tentang haram yaitu :[2]
Ø Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, yaitu suatu
pekerjaan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat
ancaman dari Allah Swt. dan apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala,
yang dikenal dengan istilah “haram”. Ulama hanafiyah menjabarkan hukum haram
menjadi dua berdasarkan dalil yang menetapkannya.Tuntutan dan larangan secara
pastiyang ditetapkan oleh dalil dalil zhanni disebut karahah tahrim.
Contohnya: memakan harta anak yatim, memakan harta
riba,dll.
Contohnya, larangan mengumpat.
Firman Allah SWT;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا
تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ
يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari
sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana
sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa dan janganlah kamu
mengintip atau mencari-cari kesalahan dan keaiban orang dan janganlah setengah
kamu mengumpat setengahnya yang lain. Adakah seseorang dari kamu suka memakan
daging saudaranya yang telah mati? (Jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah
tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, patuhilah larangan-larangan yang
tersebut) dan bertakwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah Penerima taubat,
lagi Maha mengasihani. al-Hujarat : 12
Ayat di atas menjelaskan bahawa mengumpat itu adalah
HARAM kerana ia satu bentuk tuntutan yang pasti (jazmun) iaitu berdasarkan
dalil qat'i, al-Quran al-Kariim.
4. Makruh
a. Pengertian
Makruh
Makruh menurut para ahli ushul ialah:
“apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun
tidak begitu keras.”
Atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang memperbuatnya
namun tidak disiksa kalau dikerjakan. Misalnya merokok, memakan makanan yang
menimbulkan bau yang tidak sedap, dan lain sebagainya.
b. Pembagian
Makruh
Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian:
1) Makruh
tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada
mengerjakan.
2) Makruh
tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu
zhanny, bukan qath’i. Misalnya, bermain catur, memakan kala, dan memakan daging
ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah).
Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005)
mengatakan bahwa hokum taklifi tentang makruh yaitu :[3]
Ø Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak
pasti. Yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila
ditinggalkan akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “karahah
(makruh)”.
Contohnya: merokok,dll.
Contoh.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ
تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآَنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ
عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan
(kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu
dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan
diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun. Al-Maidah
: 101.
5. Mubah
a.
PengertianMubah
Yang dimaksud dengan mubah menurut para ahli ushul ialah:
“apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk
memilih anatara memperbuat atau meninggalkannya.”
b.
PembagianMubah
Mubah dapat dibagi tiga macam, yaitu:
Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih
antara memperbuat atau tidak memperbuat
1) Tidak
diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan akan dapat memberi kelonggaran
dan kemudahan bagi yang melakukannya
2) Tidak
diterangkan sama sekali baik kebolehan memperbuatnya yang seperti inui kembali
pada kaidah bara’tul ashliyah.
Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005)
mengatakan bahwa hokum taklifi tentang mubah yaitu :[3]
Ø Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih
antara mengerjakan atau meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan
untuk mengerjakan atau meninggalkan. hal ini tidak diperintahkan dan tidak pula
dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang
diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”.
Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul
dalam ibadah haji, dll.
[3] Amir syrifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:fajar interpratama
offset hal 363
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian
yaitu; ijab (wajib), nadb (sunat) , tahrim (haram), karahah (makruh), dan
ibahah (mubah).
v Ijab adalah
firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Misalnya
firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:43: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
v Nadb adalah
firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak
pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Misalnya, firman Allah surat
Al-Baqarah [2]:282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.”
v Tahrim adalah
firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan
yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3: “Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.”
v karahah adalah
firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat.
Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101: “Janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya
menyusahkanmu.”
v ibahah adalah
firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat
235: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan mestilah
sindiran.”
B. SARAN
Segala sesuatu yang kita ketahui hukumnya mestilah kita
apilkasikan dalam kehidupan kita, jangan sudah mengetahui hukumnya tetapi tidak
sesuai amalan perbuatannya sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada
Media.
. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
. 2002. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam. Jakarta:
Pustaka Amani.
Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Syukur, Asywadie. 1990. Pengantar dan Ushul Fikih.
Surabaya: PT Bina Ilmu.
Umar, Mukhsin Nyak. 2008. Ushul Fiqh. Banda Aceh:
Ar-Raniry Press, Darussalam Banda Aceh bekerja sama dengan AK Group Yogyakarta.
Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar
Pembinaan Fiqh Islam. Bandung: PT Alma’arif
No comments:
Post a Comment