Wednesday, January 31, 2018

MAKALAH AL-HADIST

posting : junetfhoto.blogspot.com
channel Youtube : Bang junetfhoto


MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
AL - HADIST
 








DI SUSUN OLEH :
VENI PUTRI AYU
TRI ERNITA
SUKAENA. S
ALINI
WARSIL SYAM
ASWIN
DICKI WAHYUDI

SMA NEGERI 14 SINJAI BARAT TP.2017/2018

KATA  PENGANTAR

Dengan ucapan puji dan syukur  kepada ALLAH SWT yang telah memberikan segala kesempatan dan kemudahan sehingga makalah ini dapat terselesaikan walaupun masih banyak kekurangan dari berbagai segi. Shalawat dan salam kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah merubah  budaya adat dan tingkah laku yang konservatif dan tercela kedunia yang penuh norma toleran, mulia dan modern.
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang “ Ikhtilaf Al- Hadts”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi penulisan maupun kutipan, untuk itu segala kritikan dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati.
Wassalam,
                                                                                     Sinjai barat, 30 september 2017                                                      

                                                                       
   Kelompok 2






DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A.    Latar Belakang Penulis...................................................................................... 1
B.     Rumusan  Masalah........................................................................................... 2
C.     Tujuan .............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 3
A.    Pengertian Ikhtilaf Al- Hadits ............................................................................ 3
B.     Pendekatan  ikhtilaf al-hadits menurut para ulama ......................................... 4
a.       Al- Jam’u wa Al- tawfiq ( Kompromi ) ............................................................ 5
b.      Tarjih ( memilih yang terkuat ) ........................................................................ 6
c.       Nasikh wa Al- Mansukh ( Membatalkan salah satu dan
Mengamalkan yang lain ) ......................................................................................... 8
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 10
A.    Kesimpulan ...................................................................................................... 10
B.     Saran .............................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 11


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
          Hadis adalah sumber hukum kedua bagi umat Islam. Kedudukannya merupakan penjelas bagi al-Quran. Umat Islam tidak bisa menerapkan ajaran dari al-Quran tanpa petunjuk secara rinci dari hadis. Berbagai ibadah utama dalam Islam perintahnya ada dalam al-Quran, seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Perintah itu berbentuk umum, sementara hadis datang dengan rincian yang jelas. Hadis sangat diperlukan untuk dapat mengamalkan ajaran Islam secara  sempurna.  Ibadah  shalat  lima  waktu  perintahnya  dalam  al-Qur‟an, teknis pelaksanaanya hadis yang menjelaskan. Pengamalan perintah al-Quran tidak bisa terlepas dari hadis.
Hadis Nabi Muhammad yang sampai pada kita hari ini banyak jumlahnya. Tidak semuanya hadis Nabi itu dapat kita terima secara mutlak. Hal  ini  disebabkan  hadis  Nabi  tersebut  masih  terbagi  ke  dalam  berbagai bentuk hadis, seperti hadits mutawatir, sahih, hasan dan dhaif serta maudhu‟. Dalam penggunaanya hujjah, hanya hadits mutawatir, sahih dan hasan yang bisa dipedomani. Ke tiga hadis ini adalah maqbul, diterima sebagai hujjah. Tentunya kita sepakat bahwa hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah adalah hadis  yang  termasuk  kategori  maqbul.  Namun  hadis  maqbul  tidak  dapat diterima begitu saja karena pada hadis maqbul terdapat persoalan-persoalan yang   meragukan   untuk   dijadikan   sebagai   hujjah   dalam   menyelesaikan masalah. Persoalannya adalah terdapatnya pada hadis maqbul riwayat-riwayat yang  antara  satu  dengan  yang lainnya  tampak  saling bertentangan  artinya menyangkut masalah yang dihadapi tersebut disatu pihak ditemukan hadis dengan ketentuan hukum yang membolehkan  atau bahkan memerintahkan. Sedangkan dipihak lain ditemukan pula hadis dengan ketentuan hukum yang melarang.Dalam   proses   perkembangan   ilmu   hadist   mengalami   beberapa kemajuan dalam tingkat kualitasnya, hal ini didukung karena adanya perkembangan pemikiran yang lahir dari para pemikir-pemikir modern yang berkecimpung dalam dunia penelitian hadist. Kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadist-hadist, baik dari segi pembagiannnya ataupun ilmu-ilmu   yang   mendukung   adanya   pembukuan   hadist.     Dan   juga   dalam perkembangannya hadist juga membutuhkan berbagai ilmu yang membahas tentang   bagaimana   caranya   memahami   hadist.
Dalam   hal   ini   penulis bermaksud menguraikan seputar masalah ilmu Ikhtilaf Al-Hadist. Hal ini disebabkan banyak diantara hadist-hadist yang ikhtilaf yang mungkin hanya karena perbedaan pemahaman terhadap hadist tersebut. Oleh karenanya dalam menyelesaikan  berbagai  masalah  seputar  hadist-hadist  Ikhtilaf  dibutuhkan ilmu Ikhtilaf al hadist. Adanya   hadis-hadis   mukhtalif   (bertentangan)   menyangkut   suatu masalah  tertentu,  secara  praktis,  hal  ini  dapat  menimbulkan  kebingungan dalam mengambil kepastian ajaran (ketentuan hukum) yang mengatur masalah tersebut, yang manakah di antaranya yang harus diikuti dan diamalkan. Agar kita tidak terjebak di dalam memahami hadits yang kelihatannya bertentangan, maka kita perlu membahas suatu kajian hadis  yaitu  Ikhtilaf al Hadis  dan penyelesaiannya. Dalam makalah ini dibahas pengertian ikhtilaf al-Hadis, sebab terjadinya Ikhtilaf al Hadis, dan kaidah penyelesaian ikhtilaf al-Hadis.
B.    Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis akan merumuskan dasar masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana maksud dari Ikhtilaf Al-hadits.
2.      Bagaimana penyelesaian Ikhtilaf Al-hadits menurut para ulama.
3.      Metode apa yang dilakukan dalam penyelesaian Ikhtilaf Al-Hadits
4.      Menunda sebelum datangnya pendapat yang lain
C.  Tujuan.
1.      Untuk mengetahui maksud dari Ikhtilaf Al-hadits.
2.      Untuk mengetahui  penyelesaian Ikhtilaf Al-hadits menurut para ulama.
3.       Untuk mengetahui metode yang dilakukan dalam penyelesaian Ikhtilaf Al-Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Ikhtilaf Al-Hadits
Munculnya ilmu ikhtilaf al-hadits, para ulama hadits generasi awal telah berbicara banyak tentang ikhtilaf hadits ini serta telah merumuskan kaidah-kaidah penyelesaiannya. Pada masa sistematisasi, perumusan dan penulisan, ilmu yang berhubungan dengan hadits yang mukhtalif ini merupakan bagian dari pembahasan ilmu usul fikih,’ulum al- hadits. Pada prinsip dasarnya, ikhtilaf terjadi antara dua hadits dalam kasus yang sama, walaupun dalam kenyataannya ketika dilakukan pembahasan melibatkan lebih dari dua hadits.[1]
Secara etimologi, kata Ikhtilaf   berasal dari kata ikhtilafa-yakhtalifu- ikhtilaf, adalah isim fa‟il (kata sifat) yang berarti berselisih atau bertentangan. Dengan demikian, Ikhtilaf al hadis adalah hadis yang bertentangan satu sama lain[2]. Menurut para ulama Ikhtilaf al hadis adalah hadis-hadis yang tampak saling bertentangan satu sama lain.
Mukhtalif artinya yang bertentangan atau yang berselish. Mukhtalif Al-Hadits adalah hadits yang sampai pada kita namun saling bertentangan dengan maknanya satu sama lain.Sedangkan definisi menurut istilah adalah hadits yang diterima namun pada zhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya[3].
Beberapa definisi lain ikhtilaf al-Hadis yaitu:
1.   Menurut Imam Syafi‟i, ikhtilaf al-Hadis adalah dua hadis hadis tidak bisa dikatakan bertentangan jika ada alasan yang melatarbelakanginya, tetapi perbedaan bisa terjadi apabila tidak ada alasan yang melatarbelakangi kecuali dengan menggugurkan salah satu. Contonya; ada dua hadis tentang satu  permasalahan,  salah  satu  hadis  menghalalkannya  dan  yang  lain mengharamkannya.
2.   Menurut   Hakim   an-Naisabur,   ikhtilaf   al-Hadisi   adalah   bagian   dari beberapa  ilmu  untuk  mengetahui  hadis-hadis  Nabi  yang  bertentangan dengan hadis yang serupa, maka ulama mazhab mengambill salah satunya dari hadis yang sahih dan yang tidak sahih, pernyataan itu mengandung pertentangan yang hakiki dan dhahiri juga mencakup hadist yang diterima dan lemah[4].
3.   Menurut al-Nawawy dikutip oleh al-Suyuthy, hadis mukhtalif adalah dua buah  hadis  yang  saling  bertentangan  pada  makna  lahiriahnya  (namun makna sebenarnya bukanlah bertentangan, untuk mengetahui makna sebenarnya tersebut) maka keduanya dikompromikan atau di-Tarjih (untuk mengetahui mana yang kuat di antaranya).
4.   Sebagian ulama hadis memberikan batasan dalam kategori maqbul dalam  memberikan defenisi hadis mukhtalif adalah dua buah hadis (sama-sama dalam kategori) maqbul yang saling bertentangan pada makna lahiriyahnya (namun sebenarnya bukanlah bertentangan) karena maksud yang dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan dengan cara yang wajar (tidak dicari-cari).[5]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang demaksud hadis-hadis  mukhtalif  adalah  hadis  sahih  atau  hadis  hasan  yang  secara  lahiriah tampak saling bertentangan hadis sahih atau hadis hasan lainnya. Namun makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya sebenarnya dapat dikompromikan atau dicari penyelesaiannya dalam bentuk naskh atau tarjih.
Jadi  dalam  kajian Ikhtilaf   al  hadis  membahas  hadits- hadits  yang secara lahiriah saling bertentangan (kontradiksi), untuk menghilangkan pertentangan itu harus mengkompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar difahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
B. Pendekatan  ikhtilaf al-hadits menurut para ulama.
Untuk   lebih   jelasnya   penulis   memberikan   penjelasan   mengenai penyelesaian hadis-hadis yang tampak bertentangan (mukhtalif) dari beberapa pendapat ulama dapat dilakukan melalui beberapa metode yaitu:
a. Al- Jam’u wa Al- tawfiq ( Kompromi ).
            Secara bahasa kata  Al- jam’u berarti sesuatu yang mencakup, mengumpulkan, dan menggabungkan. Menurut terminology ahli hadits jami’ adalah tipe penyusunan kitab-kitap hadits yang memuat hadits-hadits yang berbagai macam masalah keagamaan seperi akidah, hukum, perbudakan, tata cara makan dan minum, bepergian dan tinggal dirumah, tafsir sejarah, perilaku hidup, pekerti baik dan buruk dan sebagainya[6].  Dan Al-tawfiq itu adalah menunggu  sampai  ada  petunjuk  atau  dalil  lain  yang  dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan. Sedangkan Al-jam‟u wa  al-taufiq adalah  kedua     hadits     yang     tampak     bertentangan dikompromikan atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya. Yang artinya bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkampromikan antara keduanya, maka keduanya di kompromikan dan wajib di amalkan[7].
            Metode  ini  dilakukan  dengan  cara  menggabungkan  dan mengkompromikan dua hadis yang tampak bertentangan, dengan catatan bahwa dua hadits tersebut sama-sama berkualitas shahih. Metode ini dinilai lebih baik ketimbang melakukan tarjih (mengunggulkan salah satu dari dua hadis   yang   tampak   bertentangan).   Dalam   salah   satu   keadaan   fiqh dikatakan bahwa “i’mal al qawl khairun min ihmaalihi (mengamalkan suatu ucapan atau sabda itu lebih baik dari pada membiarkannya untuk tidak  diamalkan).  Metode  al-jam‟u wa  al-taufiq  ini  tidak  berlaku  bagi hadis-hadis  dha‟if (lemah)  yang  bertentangan  dengan  hadis-hadis  yang shahih[8].
   Dalam pendekatan ini  upaya mengkompromikan hadits mukhtalif secara umum dapat dilakukan dengan penerapan pola umum dan khusus atau mutlaq dan muqaiyyad. Penerapan pola khusus dapat pula dilihat kekhususan dari kontek kapan, dimana, dan kepada siapa Nabi bersabda. Pola yang digagaskan Imam Syafi’I dan para ulama hadits serta ulama usul ini disimpulakan dalam tiga kemungkinan:
1.      Terkait dengan konteks waktu
2.      Terkait dengan konteks ruang dan tempat
3.      Terkait dengan konteks lawan bicara  [9]
Contoh hadits Al- Jam’u wa Al- tawfiq ( Kompromi ) adalah :
1.Hadits tentang tata cara berwudhuk Rasulullah Saw.
Hadits ini menyatakan bahwa Rasulullah Saw. Berwudlu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadis berikut ini :
Artinya: Rabbi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: imam Al-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Azizi ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibnu Aslam dari Atho ibn Yasar dari ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali. (H.R. Al-Syafi’i)
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terlihat dalam hadits berikut ini:
Artinya: Imam Al-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibnu ‘Uyainah telah  memberi  kabar  kepada  kami,  dari  Hisyam  bin  Urwah  dari ayahnya,  dari  Hamran  maulana  ‘Utsman  ibnu  ‘Affan  bahwa  Nabi  Saw berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap). (HR Al-Syafi’i).
Kedua Riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama sahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al Jam’u wa Al Taufiq.Menurut imam Syafi‟I dalam kitab Ikhtilaful Hadist  menyimpilkan bahawa , hadist-hadist itu tidak bisa dikatakan sebagai hadist yang benar-benar kontradiktif. Akan tetapi bisa   dikatakan   bahwa   berwudhu   dengan   membasuh   wajah   dan   kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap Tangan serta mengusap kepala)[10].
b. Tarjih ( memilih yang terkuat ).
Tarjih sebagaimana dirumuskan oleh para ulama, dapat diartikan sebagai memperbandingkan  dalil-dalil  yang  tampak  bertentangan  untuk mengetahui  manakah  di  antaranya  yang  kuat  dibanding  dengan  yang lain[11]. At-tarjih  itu meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat.  Yang artinya bila tidak memungkinkan untuk dikompromikan maka :
a. Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lainnya mansukh, maka kita  dahulukan yang nasikh maka kita amalkan dan kita tinggalkan yang mansukh.
b. Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat diantara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang  lemah’
c. Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan  keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat[12].
Contoh hadits Tarjih ( Memilih yang Terkuat ) yaitu :
          Harus diakui bahwa ada beberapa matan Hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan Al-Quran.
1.      Hadits  tentang nasib  bayi  perempuan  yang dikubur  hidup- hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah Hadits berkut ini:
Artinya: Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR Abu Dawud)
          Hadist tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas‟ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadist tersebut (Sabab Wurudnya) adalah  bahwa  Salamah  Ibn  Yazid  al  Ju‟fi pergi  bersama  saudaranya menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “wahai Rasul sesungguhnya   saya   percaya   Malikah   itu   dulu   orang   yang   suka menyambung silaturrahmi,  memuliakan  tamu, tapi  ia meninggal  dalam keadaan  Jahiliyah.  Apakah  amal  kebaikannya  itu  bermanfaat  baginya? Nabi   menjawab   :   tidak.   Kami   berkata:   dulu   ia  pernah   mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab : orang yang mengubur anak  perempuannya  hidup-hidup  dan  anak  yang dikuburnya berada dineraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadist yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Al Nasa‟i, dan dinilai sebagai hadis hasan secara sanad oleh imam Ibnu Katsir[13].
Hadist tersebut dinilai Musykil dari sisi matan dan Mukhtalif dengan Al-Quran surat al Takwir ayat 8-9 :
#sŒÎ)ur äoyŠ¼âäöqyJø9$# ôMn=Í´ß™ ÇÑÈ   Äd“r'Î/ 5=/RsŒ ôMn=ÏGè% ÇÒÈ 
Artinya: dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.(QS. At-Takwir: 8-9)
          Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk keneraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadist tersebut harus ditolak meskipun sanadnya Hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadist lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan  oleh  Imam  Ahmad.  Nabi  pernah  ditanya  oleh  paman Khansa‟, anak perempuan Mu‟awiyyah al Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad SAW akan masuk surga, orang yang mati Syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad).
C. Nasikh wa Al- Mansukh ( Membatalkan salah satu dan Mengamalkan yang lain )
          Pendekatan ini dapat dilakukan jika jalan taifiq tidak dapat dilakukan, data sejarah kedua hadits yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas. Tanpa diketahui taqaddum dan taakhkhur dari kedua hadits itu metode nasakh mustahil dapat dilakukan,dan tidak lupu dari perhatian ahli hadits baik yang berhubungan dengan kaidah tentang nasakh maupun pengumpulan hadits yang berkaitan dengan nasakh itu sendiri.
          Nasakh dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu:
1.  Ada penegasan dari Rasulullah, seperti nasakh larangan berziarah kubur.
2.  Adanya keterangan yang berdasarkan pengalaman, seperti keterangan bahwa terakhir kali rasulullah tidak berwudhuk ketka hendak shalat, setelah mengonsumsi makanan yang dimasak dengan api.
3.  Berdasarkan fakta sejarah, seperti batalnya puasa karena berbekam, lebih awal datang daripada hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah sendiri berbekam dalam bulan puasa.
4.  Berdasarkan ijmak, seperti hokum mati bagi orang yang minum arak sebanyak empat kali. Nasakh ini diketahui secara ijmak oleh seluruh sahabat bahwa hukum sepeti itu sudah dimansukh.[14]
          Pentingnya ilmu nasakh dan mansukh hadits bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum- hukum syariah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil nasakh dan mansukh. Oleh sebab itu para Ulama mendefinisakannya sebagai berikut : Ilmu Nasakh dan Mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadits- hadits yang bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadits dihukumi sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh. Hadits yang lebih dahulu disebut mansukh, dan hadits yang datang kemudian menjadi nasikh[15].
          Namun perlu diingat bahwa proses nasakh dalam hadits hanya terjadi disaat nabi Muhammad Saw masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah syari’, yakni Allah dan Rasulullah. Nasakh hanya terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqroril hukmi)[16].
          Salah satu contoh dua hadis yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan  metode  naskh-mansukh  adalah  hadist  tentang  hukum  makan daging kuda: “ yaitu larangan makan daging kuda dan boleh memakan daging kuda”.



BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
          Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang demaksud hadis-hadis  mukhtalif  adalah  hadis  sahih  atau  hadis  hasan  yang  secara  lahiriah tampak saling bertentangan hadis sahih atau hadis hasan lainnya. Namun makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya sebenarnya dapat dikompromikan atau dicari penyelesaiannya dalam bentuk naskh atau tarjih.
Jadi  dalam  kajian Ikhtilaf   al  hadis  membahas  hadits- hadits  yang secara lahiriah saling bertentangan (kontradiksi), untuk menghilangkan pertentangan itu harus mengkompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar difahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
B.   Saran
 Dengan sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Apabila dalam penyusunan bahasa atau karakter yang berbeda, maka pemakalah meminta ma’af dan apabila ada kritikan atau saran yang bersifat membangun baik dari dosen pembimbing maupun sahabat pemakalah terima dengan penuh rasa terimakasih.






DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Manna’ Al-Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Pustaka Al-Kautsar), Jakarta Timur, 2005
Muhammad, Aljaj Al-Khatib,Ushul Al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Media Pratama), Jakarta
Muhammad Ahmad- M.Mudzakir, Ulumul Hadits, Untuk Fakultas Tarbiah Komponen MKDK.
.Abdul Mustaqim,M.A. Ilmu ma’anil Hadits,Berbagai teori dan metode memahami Hadits Nabi; Yogyakarta;Idea Pres,2008
Ali Hasabillah,usul Al-Tasyri Al-Islamy,dar Al-Ma’arif, Mesir,Cet.V 1976.
Suhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual,( PT Bulan Bintang), Jakarta 1984.
Edi Sofri, di sertai Al- Imam Al-Syafi’i, Metode  Penyelesaian Hadits.
Al- Syaukany, Muhammad Ibnu Ali Ibnu Muhammad, Irsyad Al- Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq Min Ilmu Al- Husul, Dar Al-Fikri, Bairut
Muhammad Al-Jaj Al-Khatip, Ushulul Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuh: Bairut Dar Al-Fkr, 1989.
Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadits, (PT Raja Grafindo Persada), Jakarta 2010
Daniel Juned, Ilmu Hadis para digma baru dan rekontruksi ilmu hadis, (PT Golora Aksara Pratama), Erlangga 2010

MAKALAH SYIRKAH

posting : junetfhoto.blogspot.com
channel youtube : bang junetfhoto





MAKALAH
SYIRKAH
download.jpg






DI SUSUN OLEH :
FAUZUL
BASRI
NURUL AYUNI HIDAYAH
FAIDAH
MUH. HAIKAL

SMA NEGERI 14 SINJAI TP.2017/2018

 
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebagai pencipta atas segala kehidupan yang senantiasa memberikan rahmat sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Dalam kesempatan ini, kami(kelompok 4) juga ingin mengucapkan terima kasih dengan hati yang tulus kepada seluruh teman-teman yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini semoga Tuhan senantiasa membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda. Aminn...
     Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua saudara/saudari guna perbaikan di masa yang akan datang. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua saudara/saudari.
Sinjai 04 Oktober 2017


penulis








DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..……ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..….….iii
BAB I  : PENDAHULUAN.
A.            LATAR BELAKANG…………………………………………………..……..1
B.            RUMUSAN MASALAH…………………………………………………..…..1
C.            TUJUAN…………………………………………………………..……….…..2

BAB II : ISI / PEMBAHASAN
A.          PENGERTIAN SYIRKAH........................................…………….…..……3
B.          HUKUM SYIRKAH………………………………………………………..…….4
C.          RUKUN DAN SYARAT SYIRKAH…………………………………..…..……6
D.          MACAM-MACAM SYIRKAH…………………………………………….…….7
E.          HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SYIRKAH……………………………..13
BAB III : PENUTUP
KESIMPULAN…………………………………………………………………………..…15
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..………16




BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Banyaknya umat muslim yang belum mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan syirkah atau perkongsian dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini yang sesuai dengan tuntunan syari’at. Hal ini menyebabkan kami untuk membuat sebuah makalah yang berjudul tentang “syirkah” guna untuk  memberikan sebuah pemahaman kepada para pembaca makalah ini. Pada zaman sekarang ini banyak orang-orang muslim yang menjalankan sistem syirkah atau perkongsian dengan mengikuti tata cara orang eropa atu barat yang belum tentu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh syari’at.
Secara umum, prinsip syirkah atau bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyârakah, al-mudhârabah, al-muzâra’ah dan al-musâqah. Namun dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai al-musyârakah saja. Sedangkan yang lainnya dalam pembahasan yang lain.
Sungguhpun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-musyârakah dan al-mudhârabah, sedangkan al- muzâra’ah dan al-musâqah di pergunakan khusus untuk pembiyayaan pertanian oleh beberapa bank islam.
B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dipaparkan beberapa rumusan masalah yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam makalah ini sebagai berikut:
1.    Bagaimana pengertian dari syirkah?
2.    Bagaimana landasan hukum tentang adanya syirkah?
3.    Apa saja rukun dan syarat dari syirkah?
4.    Bagaimanakah macam-macam dari syirkah?
5.    Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya syirkah?
C.  Tujuan
1.      Memberikan informasi tentang pengertian dari syirkah.
2.      Untuk mengetahui tentang yang mendasari dari syirkah.
3.      Memberikan informasi tentang rukun dan syarat dari syirkah.
4.      Memberikan informasi tentang macam-macam dari syirkah.
5.      Untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya syirkah.














BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti:
الإختلاط أى خلط أحد المالين بالآخر بحيث لايمتزان عن بعضهما
"percampuran, yakni bercampunya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya.[1]
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/ expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama.[2]
Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama[3]
1.      menurut Hanafiah
الشركة هي عبارة عن عقد بين المتشاركين في رئس المال والربح
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang berserikat didalam modal dan keuntungan.
2.      Menurut Malikiyah
هي اذن فى التصرف لهما معا انفسهما اى أن يأذن كل واحد من الشريكين لصاحبه فى ان يتصرف فى مال لهما مع إبقاء حق التصرف لكل منهما
Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
3.      menurut syafi’iyah
وفي الشرع: عبارة عن ثبوت الحق في الشيئ الواحد لشخصين فصاعدا على جهة الشيوع
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama
4.      menurut Hanabilah
الشركة هي الإجتماع في استحقاق أو تصرف
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak atau tasarruf.
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai pengertian dari syirkah bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yang  bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyârakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Melalui akad ini, kebutuhan nasabah untuk mendapatkan tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah mendapatkan pembiyaan dari bank. Selain digunakan untuk pembiyayan modal kerja, secara umum pembiyayaan musyarakah digunakan untuk pembelian barang investasi dan pembiyayaan proyek, bagi bank, pembiyayaan musyârakah dan memberi manfaat berupa keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha.[4]
B. Hukum Syirkah
Syirkah  hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan  berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Al-Qur’an
وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ. ﴿٢٤﴾
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan firman-Nya pula:

فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ ﴿١٢﴾
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2. Hadits
عن أبى هريرة رفعه الى النبي ص.م .قال: ان الله عزوجل يقول: أنا ثالث الشريكين مالم يخن أحدهما صاحبه فإذا خانه خرجت من بينهما
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).[5]
3. Ijma’
Ijma’ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan legitimasi syarikah secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya. Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegitan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.[6]
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.[7]
C. Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan penawaran perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan), istilah ijab dan kabul sering disebut dengan serah terima. Jika ada yang menambahkan selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat.[8]
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian, sebagai berikut.[9]
1.      Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a) berkenaan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2.      Semua yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah, dan b) benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3.      Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a) modal (harta pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk kafalah, dan c) orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4.      Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah mufâwadhah.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal. Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun fasid. Syirkah fasid adalah akad syirkah di mana salah satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah terpenuhi maka syirkah dinyatakan shahih.[10]
D. Macam-Macam Syirkah
1.      Syirkah Amlâk (Hak Milik)
Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah amlâk adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik bersifat ikhtiâri atau jabari.[11]
Syirkah milk juga dibagi menjadi menjadi dua yaitu:[12]
a.       Syirkah milk jabr, ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa
b.      Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.[13]
Misalnya: Si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.
2.      Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan, artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman modal dan kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-Macam Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah, yaitu:[14]
a.       syirkah al-‘inân
Yaitu penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal lebih besar dari pihak yang lain.
Sementara itu, Ibn Qudamah sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdurrahman Sadique menyebutkan bahwa syirkah al-‘inân adalah kerjasama dua orang atau lebih dalam hal modal yang dilaksanakan oleh mereka yang berserikat dalam hal modal tersebut sementara hasilnya dibagi bersama.[15]
Keuntungan dibagi dua sesuai presentase yang telah disepakati maupun kerugiannya. Sesuai dengan kaidah:
الربح على ما شرطا والوضيعة على قدر ما لين
Artinya: “keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian ditanggung sesuai dengan modal masing-masing”.
Dan hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir.
Contoh syirkah inân: A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”
b.      syirkah al-abdân
Yaitu perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan, tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama sesama dokter di klinik, tukang besi, kuli angkut atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah dan sebagainya.
Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.[16]
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Syirkah ‘abdân hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah binMas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
c.       syirkah al-mudârabah
Yaitu, persetujuan seseorang sebagai pemilik modal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudhârib) dalam suatu perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Adapun kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal saja.
Menurut jumhur ulama (Hanafiyah, malikiyah, Syafi’iah, Zahiriyah, dan Syiah Imamiyah) tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai salah satu bentuk perserikatan, karena mudharabah menurut mereka merupaka akad tersendiri dalam bentuk kerja sama yang lain yang tidak dinamakan dengan perserikatan.
Syarat-syarat mudârabah antara lain:[17]
1.      modal harus dinyatakan dengan jelas mengenai jumlahnya
2.      modal harus diserahkan kepada mudârib untuk memungkinkannya melakukan usaha
3.      modal harus dalam bentuk tunai bukan utang
4.      pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam persentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti
5.      kesepakatan ratio persentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak
6.      pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudârib mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada shahib a-mâl
d.      syirkah al-wujûh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik serta ahli dalam bisnis atau perserikatan tanpa modal. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka.
Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada reputasi (wajâhah) kepercayaan (amânah), kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik, sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.[18]
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan.
e.       syirkah al-mufâwadhah.
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah Mufâwadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalam syirkah itu semua anggota sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘înan, abdân dan wujûh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini bisa pula diartikan kerja sama dalam segala hal. Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.
Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan dalam hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama
Hukum Syirkah ini dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya karena sulit untuk menetapkan prinsip persamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan ini.[19]
Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah‘inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdân, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah‘inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
E. Hal –Hal Yang Membatalkan Syirkah[20]
1.      sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara umum
a.       pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan akad syirkah merupakan akad yang jâiz dan ghair lâzim, sehingga memungkinkan untuk di-fasakh.
b.      meninggalnya salah seorang anggota serikat.
c.       murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah domisilinya ke darul harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
d.     gilanya peserta yang terus-menerus, karena gila menghilangkan status wakil dari wakâlah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakâlah.
2.      Sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
a.    Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota serikat sebelum digunakan untuk membeli dalam syirkah amwâl
b.    Tidak terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufâwadhah ketika akad akan dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada permulaan akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.



















BAB III
PENUTUP

Simpulan
Syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan. Mengenai landasan hukum tentang syirkah ini terdapat dalam al-qur’an, sunnah dan ijma.
Adapun rukun syirkah ada dua yaitu, ucapan (sighah) penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul) dan pihak yang berkontrak. Dan mengenai syaratnya ada tiga yaitu, pertama, ucapan: berakad dianggap sah jika diucapkan secara verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan. Kedua, pihak yang berkontrak: disyaratkan mitra harus kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Ketiga, objek kontrak (dana dan kerja): modal yang diberikan harus tunai, emas, perak atau yang bernilai sama. Para ulama menyepakati hal ini.
Kemudian macam-macam syirkah ada dua macam yakni syirkah milk dan syirkah ‘uqûd. Adapun yang membatalkan syirkah ada yang secara umum dan ada pula yang secara khusus, seperti yang telah dijelaskan diatas.






DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ân al-Karîm.
Syafei’, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Cv Pustaka Setia, 2001.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Cet. 1. Jakarta: Gema Insani, 2001.
Muhammad. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Edisi 1. Cet. 1. Yogyakarta: Bpfe-Yogyakarta, 2005
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: Amzah, 2010.
Ghazaly, Abdul Rahman dan Ihsan, Ghufron dan Shidiq, Sapiudin. Fiqh Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2010.
Al-baghâ, Musthofâ Dayb. al-Tadzhîb fî adillah Matan al-Ghôyah wa al-taqrîb. Cet. 1. Malang: Ma’had Sunan Ampel al-Ali Uin Maulana Malik Ibrahim, 2013.
Naja, H.R. Daeng. Akad Bank Syariah. Cet. 1. Yogyakarta: pustaka Yustisia, 2011.



pengobatan lama menikah belum punya anak

doa membuka aura wajah supaya awet muda dan bercahaya

doa membuka aura wajah supaya awet muda dan bercahaya

BISNIS 2018