posting : junetfhoto.blogspot.com
channel youtube : bang junetfhoto
MAKALAH
SYIRKAH
DI
SUSUN OLEH :
FAUZUL
BASRI
NURUL
AYUNI HIDAYAH
FAIDAH
MUH.
HAIKAL
SMA
NEGERI 14 SINJAI TP.2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, sebagai pencipta atas segala kehidupan yang senantiasa memberikan
rahmat sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Dalam kesempatan ini, kami(kelompok 4) juga
ingin mengucapkan terima kasih dengan hati yang tulus kepada seluruh
teman-teman yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini semoga Tuhan
senantiasa membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda. Aminn...
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua saudara/saudari guna perbaikan di masa yang akan datang. Harapan kami
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua saudara/saudari.
Sinjai
04 Oktober 2017
penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..……ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..….….iii
BAB I
: PENDAHULUAN.
A.
LATAR BELAKANG…………………………………………………..……..1
B.
RUMUSAN MASALAH…………………………………………………..…..1
C.
TUJUAN…………………………………………………………..……….…..2
BAB II : ISI / PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN SYIRKAH........................................…………….…..……3
B.
HUKUM SYIRKAH………………………………………………………..…….4
C.
RUKUN DAN SYARAT SYIRKAH…………………………………..…..……6
D.
MACAM-MACAM SYIRKAH…………………………………………….…….7
E.
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN
SYIRKAH……………………………..13
BAB III : PENUTUP
KESIMPULAN…………………………………………………………………………..…15
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..………16
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyaknya umat muslim yang
belum mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan syirkah atau perkongsian
dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini yang sesuai dengan tuntunan
syari’at. Hal ini menyebabkan kami untuk membuat sebuah makalah yang berjudul
tentang “syirkah” guna untuk memberikan
sebuah pemahaman kepada para pembaca makalah ini. Pada zaman sekarang ini
banyak orang-orang muslim yang menjalankan sistem syirkah atau perkongsian
dengan mengikuti tata cara orang eropa atu barat yang belum tentu sesuai dengan
apa yang diajarkan oleh syari’at.
Secara umum, prinsip syirkah
atau bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama,
yaitu al-musyârakah, al-mudhârabah, al-muzâra’ah dan al-musâqah. Namun
dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai al-musyârakah saja. Sedangkan yang
lainnya dalam pembahasan yang lain.
Sungguhpun demikian, prinsip yang paling
banyak dipakai adalah al-musyârakah dan al-mudhârabah, sedangkan al-
muzâra’ah dan al-musâqah di pergunakan khusus untuk pembiyayaan pertanian
oleh beberapa bank islam.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dipaparkan
beberapa rumusan masalah yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam
makalah ini sebagai berikut:
1.
Bagaimana pengertian dari syirkah?
2.
Bagaimana landasan hukum tentang adanya syirkah?
3.
Apa saja rukun dan syarat dari syirkah?
4.
Bagaimanakah macam-macam dari syirkah?
5.
Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya syirkah?
C.
Tujuan
1.
Memberikan informasi tentang pengertian dari syirkah.
2.
Untuk mengetahui tentang yang mendasari dari syirkah.
3.
Memberikan informasi tentang rukun dan syarat dari syirkah.
4.
Memberikan informasi tentang macam-macam dari syirkah.
5.
Untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya
syirkah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti:
الإختلاط أى خلط أحد المالين
بالآخر بحيث لايمتزان عن بعضهما
"percampuran, yakni bercampunya salah
satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara
keduanya.[1]
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (amal/ expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan
dan resiko ditanggung bersama.[2]
Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama[3]
1.
menurut Hanafiah
الشركة هي عبارة عن عقد بين
المتشاركين في رئس المال والربح
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad
(perjanjian) antara dua orang yang berserikat didalam modal dan keuntungan.
2.
Menurut Malikiyah
هي اذن فى التصرف لهما معا
انفسهما اى أن يأذن كل واحد من الشريكين لصاحبه فى ان يتصرف فى مال لهما مع إبقاء
حق التصرف لكل منهما
Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan
(tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya,
yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan
harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
3.
menurut syafi’iyah
وفي الشرع: عبارة عن ثبوت
الحق في الشيئ الواحد لشخصين فصاعدا على جهة الشيوع
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan
tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih secara
bersama-sama
4.
menurut Hanabilah
الشركة هي الإجتماع في
استحقاق أو تصرف
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama
dalam kepemilikan atas hak atau tasarruf.
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa
para ulama mengenai pengertian dari syirkah bahwa yang dimaksud dengan syirkah
adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal
yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi
satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan
kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya keinginan
para pihak yang bekerja sama untuk
meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam
golongan musyârakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau
lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya,
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Melalui akad ini, kebutuhan
nasabah untuk mendapatkan tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah
mendapatkan pembiyaan dari bank. Selain digunakan untuk pembiyayan modal kerja,
secara umum pembiyayaan musyarakah digunakan untuk pembelian barang investasi
dan pembiyayaan proyek, bagi bank, pembiyayaan musyârakah dan memberi manfaat
berupa keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha.[4]
B. Hukum Syirkah
Syirkah
hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’
(konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di
antaranya:
1. Al-Qur’an
وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ
الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ. ﴿٢٤﴾
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan firman-Nya pula:
فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن
ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ ﴿١٢﴾
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan
pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja
dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris,
sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2. Hadits
عن أبى هريرة رفعه الى النبي
ص.م .قال: ان الله عزوجل يقول: أنا ثالث الشريكين مالم يخن أحدهما صاحبه فإذا خانه
خرجت من بينهما
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang
yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau
salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan
Al-Hakim no.2322).[5]
3. Ijma’
Ijma’ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah
berkonsensus akan legitimasi syarikah secara global, walaupun perbedaan
pendapat dalam beberapa elemen dari padanya. Maka secara tegas dapat dikatakan
bahwa kegitan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar
hukumnya telah jelas dan tegas.[6]
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah
berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah
secara global walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.[7]
C. Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada
ketika syirkah itu berlangsung. Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah.
Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan
melakukan penawaran perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan),
istilah ijab dan kabul sering disebut dengan serah terima. Jika ada yang
menambahkan selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua
orang yang berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun
tetapi termasuk syarat.[8]
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah
menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian, sebagai berikut.[9]
1.
Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a)
berkenaan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai
perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan
harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2.
Semua yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua
perkara yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad
syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah,
dan b) benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik
jumlahnya sama maupun berbeda.
3.
Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a)
modal (harta pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk
kafalah, dan c) orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah
umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4.
Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah
mufâwadhah.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang
bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar
(rusyd). Imam Syafi’i berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah
syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal. Akad syirkah ada kalanya
hukumnya shahih ataupun fasid. Syirkah fasid adalah akad syirkah di mana salah
satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah
terpenuhi maka syirkah dinyatakan shahih.[10]
D. Macam-Macam Syirkah
1. Syirkah Amlâk (Hak Milik)
Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang
dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam
bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan
kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya. Menurut Sayyid
Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah amlâk adalah bila lebih dari satu orang
memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik bersifat ikhtiâri atau jabari.[11]
Syirkah milk juga dibagi menjadi menjadi dua
yaitu:[12]
a.
Syirkah milk jabr, ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam
pemilikan suatu benda secara paksa
b.
Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih
untuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan
cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang
ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat
atau kondisi lain yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau
lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua
aset nyata dan berbagi dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.[13]
Misalnya: Si A dan si B diberi wasiat atau
hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau
membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka
mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.
2.
Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang
bersekutu dalam modal dan keuntungan, artinya kerjasama ini didahului oleh
transaksi dalam penanaman modal dan kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya,
dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang
hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti ini,
pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan kuasa
masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika
yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan
adalah milik rekannya.
Macam-Macam Syirkah Uqûd
(Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama fikih
terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam
syarikah, yaitu:[14]
a.
syirkah al-‘inân
Yaitu penggabungan harta atau modal dua orang
atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal
lebih besar dari pihak yang lain.
Sementara itu, Ibn Qudamah sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Abdurrahman Sadique menyebutkan bahwa syirkah al-‘inân
adalah kerjasama dua orang atau lebih dalam hal modal yang dilaksanakan oleh
mereka yang berserikat dalam hal modal tersebut sementara hasilnya dibagi
bersama.[15]
Keuntungan dibagi dua sesuai presentase yang
telah disepakati maupun kerugiannya. Sesuai dengan kaidah:
الربح على ما شرطا والوضيعة
على قدر ما لين
Artinya: “keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan dan kerugian ditanggung sesuai dengan modal masing-masing”.
Dan hukum syirkah ini diperbolehkan
berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir.
Contoh syirkah inân: A dan B pengrajin atau
tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan memproduksi dan
menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50
juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini,
disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh),
misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika
barang itu dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan,
sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk)
berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka
masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang
berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab
Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian
didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas
kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”
b.
syirkah al-abdân
Yaitu perserikatan dalam bentuk kerja yang
hasilnya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan, tanpa konstribusi modal
(mâl), seperti kerja sama sesama dokter di klinik, tukang besi, kuli angkut
atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang
penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah dan sebagainya.
Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut
kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i
melarangnya.[16]
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan,
bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika
memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A
mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Syirkah ‘abdân hukumnya boleh berdasarkan
dalil as-Sunnah. Dari Abdullah binMas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku
pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai
harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan,
sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan
Ibnu Majah)
c.
syirkah al-mudârabah
Yaitu, persetujuan seseorang sebagai pemilik
modal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudhârib)
dalam suatu perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama. Adapun kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal saja.
Menurut jumhur ulama (Hanafiyah, malikiyah,
Syafi’iah, Zahiriyah, dan Syiah Imamiyah) tidak memasukkan transaksi mudharabah
sebagai salah satu bentuk perserikatan, karena mudharabah menurut mereka
merupaka akad tersendiri dalam bentuk kerja sama yang lain yang tidak dinamakan
dengan perserikatan.
Syarat-syarat mudârabah antara lain:[17]
1.
modal harus dinyatakan dengan jelas mengenai jumlahnya
2.
modal harus diserahkan kepada mudârib untuk memungkinkannya melakukan
usaha
3.
modal harus dalam bentuk tunai bukan utang
4.
pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam persentase dari keuntungan
yang mungkin dihasilkan nanti
5.
kesepakatan ratio persentase harus dicapai melalui negosiasi dan
dituangkan dalam kontrak
6.
pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudârib mengembalikan
seluruh atau sebagian modal kepada shahib a-mâl
d.
syirkah al-wujûh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih
yang memiliki reputasi dan nama baik serta ahli dalam bisnis atau perserikatan
tanpa modal. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan
dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi
bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka.
Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut
kalangan hanafiyah dan hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah,
Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada
reputasi (wajâhah) kepercayaan (amânah), kedudukan, ketokohan, atau keahlian
seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka
memiliki nama baik, sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan
nama baik tersebut.[18]
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang
dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang
dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat,
masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual
barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah wujûh ini, keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang
dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan.
e.
syirkah al-mufâwadhah.
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih.
Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi
dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah Mufâwadhah juga merupakan syirkah
komprehensif yang dalam syirkah itu semua anggota sepakat melakukan aliansi
dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘înan, abdân dan wujûh. Di mana
masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala
aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli,
penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya.
Atau syirkah ini bisa pula diartikan kerja sama dalam segala hal. Namun tidak
termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti
barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung
berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi
syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.
Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah
ini adalah kesamaan dalam hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja,
tanggung jawab, beban utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama
Hukum Syirkah ini dalam pengertian di atas
dibolehkan menurut mayoritas ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula
ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i
melarangnya karena sulit untuk menetapkan prinsip persamaan modal, kerja dan
keuntungan dalam perserikatan ini.[19]
Adapun keuntungan yang diperoleh dalam
syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai
porsi modal (jika berupa syirkah‘inân), atau ditanggung pemodal saja (jika
berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan
persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi
modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa
masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk
berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah
syirkah ‘abdân, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan
memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan
C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A
sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat
bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja,
berarti terwujud syirkah‘inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang
secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud
syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
E. Hal –Hal Yang Membatalkan Syirkah[20]
1.
sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara umum
a.
pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan
akad syirkah merupakan akad yang jâiz dan ghair lâzim, sehingga memungkinkan
untuk di-fasakh.
b.
meninggalnya salah seorang anggota serikat.
c.
murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah domisilinya ke
darul harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
d.
gilanya peserta yang terus-menerus, karena gila menghilangkan status
wakil dari wakâlah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakâlah.
2.
Sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
a.
Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota
serikat sebelum digunakan untuk membeli dalam syirkah amwâl
b.
Tidak terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufâwadhah ketika akad
akan dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada permulaan
akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Syirkah adalah kerja sama
antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing
dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada
perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung
bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan. Mengenai landasan hukum tentang
syirkah ini terdapat dalam al-qur’an, sunnah dan ijma.
Adapun rukun syirkah ada dua yaitu, ucapan
(sighah) penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul) dan pihak yang berkontrak.
Dan mengenai syaratnya ada tiga yaitu, pertama, ucapan: berakad dianggap sah
jika diucapkan secara verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan
disaksikan. Kedua, pihak yang berkontrak: disyaratkan mitra harus kompeten
dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Ketiga, objek kontrak
(dana dan kerja): modal yang diberikan harus tunai, emas, perak atau yang
bernilai sama. Para ulama menyepakati hal ini.
Kemudian macam-macam syirkah ada dua macam
yakni syirkah milk dan syirkah ‘uqûd. Adapun yang membatalkan syirkah ada yang
secara umum dan ada pula yang secara khusus, seperti yang telah dijelaskan
diatas.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’ân al-Karîm.
Syafei’, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Cv
Pustaka Setia, 2001.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari
Teori ke Praktik. Cet. 1. Jakarta: Gema Insani, 2001.
Muhammad. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis
Syari’ah. Edisi 1. Cet. 1. Yogyakarta: Bpfe-Yogyakarta, 2005
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Edisi 1.
Cet. 1. Jakarta: Amzah, 2010.
Ghazaly, Abdul Rahman dan Ihsan, Ghufron dan
Shidiq, Sapiudin. Fiqh Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: kencana Prenada
Media Group, 2010.
Al-baghâ, Musthofâ Dayb. al-Tadzhîb fî
adillah Matan al-Ghôyah wa al-taqrîb. Cet. 1. Malang: Ma’had Sunan Ampel
al-Ali Uin Maulana Malik Ibrahim, 2013.
Naja, H.R. Daeng. Akad Bank Syariah. Cet. 1.
Yogyakarta: pustaka Yustisia, 2011.
No comments:
Post a Comment