posting : junetfhoto.blogspot.com
tgl. 25 januari 2018
MAKALAH
“ HAMIL DI LUAR NIKAH MENURUT
UNDANG-UNDANG DI INDONESIA ”
DI
SUSUN
O
L
E
H
KELOMPOK
4
NUR
INDAH
NURHIDAYAH
MUSTARI
KHAERULLAH
ARSYAD
JUSMAWATI
TAHUN
AJARAN 2017/2018
SMA
NEGERI 14 SINJAI
KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan nikmatnya yang tak
ternilai harganya, sehingga penulis telah selesai menulis makalah ini yang
berjudul : HAMIL SEBELUM NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG
Selanjutnya salam sejahtera juga penulis
haturkan kepada tokoh ilmuan sedunia yaitu Nabi Muhammad Saw yang merupakan
salah seorang yang sudah terbukti keberhasilannya dalam hal mengajarkan nilai
nilai kebenaran ataupun mendidik, merobah peradaban manusia, dan sikap serta
cara pandang dan pola hidup sebagai mana layaknya.
Terimakasih kepada kawan-kawan yang ikut
memberi andil, serta motivasi dalam rangka penulisan makalah ini.
Sinjai
10 Oktober 2017
Kelompok
4
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL ............................................................................................................ i
KATA
PENGANTAR..........................................................................................................
ii
DAFTAR
ISI......................................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
A.
LATAR BELAKANG..................................................................................................... 1
B.
RUMUSAN MASALAH................................................................................................ 1
C.
TUJUAN.......................................................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN...................................................................................................... 2
2.1 PENGERTIAN
ANAK HAMIL DILUAR NIKAH ..................................................... 2
2.2
PRESFEKTIF TERHADAP ANAK HAMIL DILUAR
NIKAH ................................ 2
2.3
KEPUTUSAN MK.......................................................................................................... 4
BAB
III PENUTUP............................................................................................................. 16
3.1 KESIMPULAN............................................................................................................ 16
DAFTARPUSTAKA……………………………………………………………………...……...17
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pada februari 2012 lalu,
Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan
yang cukup mengejutkan banyak pihak, yaitu dikeluarkannya Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU - VIII/2010
terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin. Putusan ini lantas mengundang pro dan kontra dari berbagai
pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, bahkan
masyarakat.
Putusan MK mengenai pengakuan
anak di luar perkawinan “mengejutkan”.
Walaupun melegakan sejumlah pihak, tapi akan ada permasalahan baru yang timbul
dari putusan mahkamah konstitusi tersebut.
Atas dasar hal tersebut diatas, penulis hendak mencoba membedah
kedudukan anak lahir di luar nikah pasca putusan MK sebagaimana telah
disebut sebelumnya
1.2. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian anak diluar nikah ?
2.
Bagaimana peresfektik fiqih terhadap anak diluar nikah ?
3.
Bagaimana hasil keputusan MK terhadap anak Diluar Nikah ?
1.3.. Tujuan Masalah
Tujuan yang ingin dicapai
oleh pemakalah dari materi ini antara lain ialah : Para pendengar dan pembaca
wabil khusus pemakalah sendiri dapat memahami dari rumusan- rumusan masalah
yang ada.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian anak diluar nikah
Anak
yang lahir di luar nikah, adalah
anak yang lahir dari perkawinan
yang dilakukan menurut masing-
masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan adanya
perkawinan, dan jika dilakukan menurut agama Islam, maka perkawinan yang
demikian ”sah” dalam perspektif fikih
Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun
perkawinan. Dengan demikian anak tersebut sah dalam kacamata
agama, yaitu sah secara
materiil, namun karena tidak tercatat
baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di Kantor Catatan Sipil (anak hasil nikah sirri, seperti halnya Machica Mochtar dengan Moerdiono), maka tidak
sah secara formil. Untuk istilah ”anak yang lahir di luar perkawinan”, maka
istilah ini yang tepat untuk kasus Machica, mengingat anak yang lahir itu
sebagai hasil perkawinan dengan memenuhi syar at dan rukun secara agama, namun
tidak tercatat. Jadi bukanlah sebagaimana berkembangnya
persepsi yang salah yang
menganggap kasus anak dari Machica dengan Moerdiono sebagai anak hasil zina.
Kasus tersebut merupakan anak yang dilahirkan ”
di luar perkawinan ” karena
perkawinannya hanya memenuhi
Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, dan tidak memenuhi Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pada dasarnya
perkawinan di Indonesia harus dilaksanakan dengan prosedur sesuai dengan pasal
2 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah
yang dimaksud dengan perkawinan yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan. Jika perkawinan dilakukan hanya mengikuti pasal 2 ayat
1 saja, maka perkawinan itu disebut
”luar perkawinan”, oleh karena itu pasal 43 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan itu tidak berdiri sendiri,
sangat berkaitan dengan adanya perkawinan sebagaimana diatur oleh pasal 2
UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan.
Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu dilakukan di luar prosedur
pada pasal 2 ayat 2. Tidak bisa
"luar perkawinan" itu diartikan sebagai perzinaan, karena perbuatan
zina itu dilakukan sama sekali tanpa ada perkawinan, beda sekali antara luar
perkawinan dengan tanpa perkawinan.
Analoginya bandingkan dengan kata-kata :
saya tidur di luar rumah, artinya rumahnya ada tetapi saya tidur di
luarnya, tetapi kalau saya tidur tanpa
rumah, berarti rumahnya tidak ada. Oleh karena itu jika disebut
"perkawinan" sudah pasti perkawinan itu sudah dilakukan minimal 8
sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, itulah yang disebut "
luar perkawinan ", sedangkan
perzinaan sama sekali tidak tersentuh dengan teren ”perkawinan”.
Anak yang lahir tanpa
perkawinan, adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara pria dengan wanita tanpa ada
ikatan perkawinan. Inklusif anak yang lahir atas pertemuan ovum dengan sperma
dari pasangan suami istri yang menikah secara sah keberadaan anak melalui Bayi Tabung, namun anak tersebut ketika dalam masa
kandungan dititipkan kepada rahim selain ibunya yang sah. Anak yang lahir
demikian tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil.
Pemahaman yang keliru
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi 46/PUU- VIII/2010 terutama terhadap
kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” membawa kepada perdebatan
panjang. Frasa “di luar perkawinan” sangat berbeda maknanya dengan frasa “
tanpa perkawinan”. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau anak yang lahir dari perkawinan yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaannya tapi tidak tercatat
pada KUA atau Kantor Catatan Sipil merupakan anak yang sah secara materiil tapi
tidak sah secara formil. Sedangkan anak yang dilahirkan tanpa perkawinan orang
tuanya atau
anak yang dilahirkan dari
hubungan antara lelaki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan
merupakan anak yang tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil
(anak zina). “Jadi putusan MK ini tidak bisa dihubungkan dengan perzinahan atau
akibat perzinahan, kasus yang melatarbelakangi putusan ini hanya berkaitan
dengan ”pencatatan perkawinan”.
2.3. Presfektif fiqih terhadap anak diluar
nikah
Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi?i dan Hambali)
telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak
laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang
menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya.
Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar
nikah.
Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita
yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak.
(Al Mabsuth 17/154, Asy Syarhul Kabir 3/412, Al Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal :
338, dan Ar Raudlah 6/44. dikutip dari Taisiril Fiqh 2/828.) Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah: “Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi
laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).” (HR: Al-Bukhari dan
Muslim)
Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth, “Seorang
laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka dan (dia mengakui)
bahwa anak ini anak dari hasil zina dan si wanita membenarkannya, maka nasab
(si anak itu) tidak terkait dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah: “Anak itu
bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan
penyesalan)” (HR: Al Bukhari dan Muslim). Rasulullah telah menjadikan kerugian
dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada hak nasab
bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah murni
hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Al Mabsuth 17/154). Ibnu Abdil Barr berkata,
Nabi bersabda, “Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan
penyesalan)? Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam
Islam.” (At Tamhid 6/183 dari At Taisir)
Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak
dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :
* Anak itu tidak berbapak.
* Anak itu tidak saling mewarisi dengan
laki-laki itu.
Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa
ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki
wali. Rasulullah bersabda, “Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali
bagi orang yang tidak memiliki wali?” (Hadits hasan Riwayat Asy Syafi\’iy,
Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.)
Satu masalah lagi yaitu bila si wanita yang
dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra dengan satu kali haidh, lalu digauli
dan hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi sewaktu hamil, kemudian setelah
anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari pernikahan yang
telah dijelaskan di muka bahwa pernikahan ini adalah haram atau tidak sah, maka
bagaimana status anak yang baru terlahir itu ?
Bila si orang itu meyakini bahwa
pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada orang yang memboleh-kannya
atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak
yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya,
sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di
masa ?iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah
atau karena mereka tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa
iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepada-nya padahal
pernikahan di masa iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan
nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak. (Al-Mughniy 6/455.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
mengatakan hal serupa, beliau berkata, “Barangsiapa menggauli wanita dengan
keadaan yang dia yakini pernikahan (yang sah), maka nasab (anak) diikutkan
kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan
kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui, meskipun pada hakikatnya pernikahan
itu batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan begitu juga setiap hubungan badan
yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap
diikutkan kepadanya).” (Dinukil dari nukilan Al Bassam dalam Taudlihul Ahkam
5/104)
Semoga orang yang keliru menyadari
kekeliruannya dan kembali taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta\’ala,
sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya danMaha berat siksanya.
Selanjutnya, coba kita pahami beberapa hukum
fikih berikut, semoga ini membuat kita semakin merinding dan takut untuk
membuka peluang kesempatan bagi lelaki untuk melampiaskan nafsu birahinya.
Pertama, anak hasil zina (anak di luar nikah)
tidak dinasabkan ke bapak biologis.
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya
sebagaimana anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama
terputus nasabnya dari sisi bapaknya (lihat Al Mughni: 9:123).
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan
tentang anak zina,
ولد زنا لأهل أمه من كانوا
حرة أو أمة
“Untuk keluarga ibunya yang masih ada, baik
dia wanita merdeka maupun budak.”(HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi
Iddi’a` Walad Az-Zina no.2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abu Dawud no.1983)
Dalam riwayat yang lain, dari Ibnu Abbas,
dinyatakan,
ومن ادعى ولدا من غير رشدة
فلا يرث ولا يورث
“Siapa yang mengklaim anak dari hasil di luar
nikah yang sah, maka dia tidak mewarisi anak biologis dan tidak mendapatkan
warisan darinya.” (HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina
no. 2266)
Dalil lain yang menegaskan hal itu adalah
hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau
mengatakan,
قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ
عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki,
atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan
tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib
Al-Arnauth).
Dalil lainnya adalah hadis dari Aisyah
radhiallahu ’anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan
bagi pezina dia mendapatkan kerugian.”
Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketika seorang
wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang
lelaki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki
ini disebut “pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki, maka
setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa
jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh
laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian,
artinya tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak hasil perbuatan zinanya
dengan istri orang lain.” (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37)
Berdasarkan keterangan di atas, para ulama
menyimpulkan bahwa anak hasil zina SAMA SEKALI bukan anak bapaknya. Karena itu,
tidak boleh di-bin-kan ke bapaknya.
Bagaimana Jika Di-bin-kan ke Bapaknya?
Hukumnya terlarang bahkan dosa besar. Ini
berdasarkan hadis dari Sa’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من ادعى إلى غير أبيه وهو
يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام
“Siapa yang mengaku anak seseorang, sementara
dia tahu bahwa itu bukan bapaknya maka surga haram untuknya.” (HR. Bukhari no.
6385)
Karena bapak biologis bukan bapaknya maka
haram hukumnya anak itu di-bin-kan ke bapaknya. Lantas kepada siapa dia
di-bin-kan?
Mengingat anak ini tidak punya bapak yang
‘legal’, maka dia di-bin-kan ke ibunya. Sebagaimana Nabi Isa ‘alaihis salam,
yang dengan kuasa Allah, dia diciptakan tanpa ayah. Karena beliau tidak memiliki
bapak, maka beliau di-bin-kan kepada ibunya, sebagaimana dalam banyak ayat,
Allah menyebut beliau dengan Isa bin Maryam.
Kedua, Tidak ada hubungan saling mewarisi.
Tidak ada hubungan saling mewarisi antara
bapak biologis dengan anak hasil zina. Karena sebagaimana ditegaskan
sebelumnya, bapak biologis bukan bapaknya. Memaksakan diri untuk meminta
warisan, statusnya merampas harta yang bukan haknya. Bahkan hal ini telah
ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam
beberapa hadis, di antaranya: Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan
dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak
dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud,
dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).
Jika bapak biologis ingin memberikan bagian
hartanya kepada anak biologisnya, ini bisa dilakukan melalu wasiat. Si Bapak
bisa menuliskan wasiat, bahwa si A (anak biologisnya) diberi jatah sekian dari
total hartanya setelah si Bapak meninggal. Karena wasiat boleh diberikan kepada
selain ahli waris.
Ketiga, siapakah wali nikahnya?
Tidak ada wali nikah, kecuali dari jalur
laki-laki. Anak perempuan dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak. Bapak
biologis bukanlah bapaknya.
Dengan demikian, dia memliki hubungan
kekeluargaan dari pihak bapak biologis. Bapak biologis, kakek, maupun paman
dari bapak biologis, tidak berhak menjadi wali. Karena mereka bukan paman
maupun kakeknya. Lalu siapakah wali nikahnya? Orang yang mungkin bisa menjadi
wali nikahnya adalah
a. Anak laki-laki ke bawah, jika dia janda
yang sudah memiliki anak.
b. Hakim (pejabat resmi KUA).
2.3. Keputusasan MK
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.
A. Anak
Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah
salah satu ahli waris menurut undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata
berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak
mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin
mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin,
anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh
pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan
sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan
pengaturannya dalam Pasal 280 KUH Perdata. Pembagian seperti tersebut
dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status
anak-anak seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang
sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi
kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUH Perdata, dapat
diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang
yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.
Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal
283, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda dengan
anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalarn
keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan
dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2)
KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah
(Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti ini tidak diberikan untuk anak zina.
Perbedaan antara anak luar kawin dan anak
zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan
kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya
laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam
ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak
itu lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari
hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana
salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak
sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang
ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata).
Dengan demikian anak luar kawin dalam arti
sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang
lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah
yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata). Hubungan
antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila
anak itu "overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah). Antara ayah dan
anak hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata).
Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan; bahwa dengan pengakuan yang dilakukan
terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan
bapak atau ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar kawin dan
"ayah" (biologisnya) maupun "ibunya" pada asasnya tidak ada
hubungan hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau "ayah" dan atau
"ibunya"memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan
demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak itu
bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun.
Kalau kita melihat prinsip seperti tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan,
bahwa hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang sah didasarkan atas
adanya hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau kita hubungkan dengan
anak luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin dan ayah yang
mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan dengan
demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti
yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum
secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan
pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil
dibandingkan dengan anak sah. Selain hal tersebut anak sah berada di bawah
kekuasaan orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata, sedangkan
anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian
sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHPerdata.
Untuk dapat menjadi seorang ahli waris
KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk dapat menjadi ahli waris harus
memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli
waris melalui pemberian melalui surat
wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPerdata.
b.
Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli waris, harus sudah ada pada saat
pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya.
Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata memperjelas
kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu hubungan darah
baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut
tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu
pewarisan menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara
sah maupun tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang
jelas tentang anak luar kawin. KUHPerdata hanya memberikan penjelasan tentang
pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan atau
dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan batasan yang diberikan
oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan
anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak
luar kawin dalam Pasal 43, yaitu:
a. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;
b. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas
selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 4
menyebutkanPerkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Namun perkawinan tersebut harus
dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil bagi
yang bukan beragama Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti yang
diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan
untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan kepastian
hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.
UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2
menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Begitu pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
b. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat
(1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang No.22 Tahun 1946 Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Walaupun pernikahan siri dianggap sah secara
agama Islam, yaitu adanya ijab dan Kabul serta wali nikah dan pengantin sudah
cukup umur; namun perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum Negara. Tanpa
adanya pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak yang lahir dari
perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari
ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang
melahirkannya.
Dari lima rukun nikah itu tak ada seorang
ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat. Sebab,
tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits Sahih yang secara eksplisit
mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah sekalipun tidak
tercatat, anaknya tetap dianggap anak
sah. Sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat
tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.” Dari hadits itu, dapat dijelaskan anak juga
bernasab (hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur yang sah.
Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, perzinaan tidak
pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina
hanya layak diberi hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab
pada ibu dan bapaknya, kecuali karena perzinahan anak hanya bernasab dengan
ibunya. Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan
definisi bagi anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah.
Sedangkan Pasal 250 KUHPerdata menentukan
bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan,
memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas,
keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak,
anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami
sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu
perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak.
B. Kedudukan Anak Luar Kawin
Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, seorang
anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila
telah diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak
diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik
dengan bapak maupun ibu biologisnya. Namun, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja,
dalam ayat (2) disebutkan bahwa Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur
lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum
diundangkan oleh pemerintah.Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam
hal ini KUHPerdata. Sehingga kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap diperlukan
suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar
kawin dengan orang tuanya. Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan
dengan :
1.
Pengakuan sukarela Pengakuan sukarela yaitu : suatu pengakuan yang
dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia
adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar
perkawinan).
Dengan adanya pengakuan, maka timbulah
hubungan Perdata antara si anak dan si bapak (ibu) yang telah mengakuinya
sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata. Pengakuan sukarela dapat
dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu :
a. Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal
281 ayat (1) KUHPerdata, untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak
atau ibunya dan atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di
hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar
kawin tersebut.
b. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat
pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam
akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal 272
KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi
seorang anak sah.
c. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat
dilakukan dalam akta oteintik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam
Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata.
d. Dengan akta yang dibuat oleh pegawai
catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut
hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata.
2. Pengakuan Paksaan
Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi
secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar
perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya
kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu
diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289
KUHPerdata. Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti
sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat
perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain (tidak
tergolong anak zina atau anak sumbang).
Menurut KUHPerdata ahli waris yang berhak
mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
a. Golongan I : Anak, atau keturunannya dan
janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b,
dan 515 KUHPerdata.
b. Golongan II : Orang tua (bapak/ibu),
saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam
pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.
c. Golongan III : Kakek dan nenek, atau
leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di
dalam Pasal 853, 858 ayat (1) KUHPerdata.
d. Golongan IV : Sanak keluarga di dalam
garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam
Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Anak yang lahir di luar nikah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut masing- masing agamanya dan
kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan adanya perkawinan, dan jika
dilakukan menurut agama Islam, maka perkawinan yang demikian ”sah” dalam perspektif fikih Islam sepanjang
memenuhi syarat dan rukun perkawinan
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut di atas, maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak
yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa
harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan
adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu
pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada
penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah,
maka menurut saya dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan
mengenai status anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah.
Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat sinkronisasi hukum
dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama
dan kepercayaannya sehingga tidak
menimbulkan pendapat/ opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah
baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan dimasyarakat dapat
terwujud.
Sedangkan menurut pandangan fiqih anak diluar
nikah tidakdapat menjadi waris dari ayah biologisnya,dan ayah biologisnya tidak
dapat menjadi wali nikahnya. dan nasab nya disandarkan padaibunya.
Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi,
Malikiy, Syafi?i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak
memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak,
meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku
bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap,
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013, hlm. 91.
[2] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Sinar
Grafika, 2007, hlm. 26.
[3] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 92.
[4] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam…, hlm. 27
[5] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 27
[6] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 93.
[7] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 27
[8] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 93-94.
[9] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 94.
[10] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 94.
[11] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam…, hlm. 95.
[12] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm.14-15.
[13] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam,…, hlm.14-15.
[14] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 28.
[15] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam,…,hlm. 28
No comments:
Post a Comment