Sunday, February 18, 2018

MAKALAH “IDDAH, RUJUK DAN HIKMAH PERKAWINAN”

MAKALAH
“IDDAH, RUJUK DAN HIKMAH PERKAWINAN”
D
I
S
U
S
U
N

OLEH :


                             SMA NEG.14 SINJAI
TAHUN PELAJARAN 2017/2018

KATA PENGATAR
            Dengan mengucapkan bismilahhirrahmannirrahim dan syukur atas kehadhirat Allah SWT dengan rahmat dan hidayahnya. Shalawat dan salam kita haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, Sehingga penulis telah menyelesaikan makalah agama tentang Iddah ,Rujuk dan Hikmah Pernikahan.
Hormat ananda kepada orang tua dan keluarga tercinta yang selalu memberikan motivasi dan dukungan doa selama penulis menempuh pendidikan.Teman–temansatu angkatan yang selalu memberikan motivasi, dukungan, semangat, canda dan tawa serta Semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu – persatu yang telah membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan makalah ini.

  
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG PENELITIAN........................................................ 1
B.     RUMUSAN MASALAH........................................................................... 1
C.     TUJUAN PENELITIAN............................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.     IDDAH...................................................................................................... 3
B.     RUJUK...................................................................................................... 8
C.     HIKMAH PERKAWINAN …………………………………………….12
BAB III PENUTUP
A.     KESIMPULAN......................................................................................... 14
B.     SARAN..................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..15

BAB I
PENDAHULUAN


  1. LATAR BELAKANG
Pernikahan merupakan sesuatu yang amat sakral dalam pandangan islam. Pernikahan juga merupakan salah satu sunnah rasul yang harus di jalani dalam mengarungi sebuah bahtera kehidupan serta menjadi suatu dasar yang penting dalam memelihara kemashlahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat. Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahma. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi kebahagiaan. Kadang ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian (thalak), rujuk, idah, dan sebagainya. Talak dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat membutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk mengadakan perbaikan. Hal ini antara lain dibolehkan apabila suami istri sudah tidak dapat melakukan kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, sehingga tujuan rumah tangga yang pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang tenang dan bahagia sudah tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan penderitaan-penderitaan dan perpecahan antara suami istri tersebut, maka dalam keadaan demikian perceraian dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi segala penderitaan baik yang menimpa suami atau istri.
Namun demikian, bagi wanita yang dicerai oleh suaminya, baik cerai biasa atau cerai mati (ditinggal mati), tidaklah boleh langsung menikah lagi dengan laki-laki lain, melainkan ia harus menunggu untuk sementara waktu lebih dahulu. Masa menunggu bagi wanita yang bercerai itu disebut iddah. Diadakan masa iddah itu dimaksudkan untuk mengetahui apakah selama masa iddah itu wanita tersebut hamil atau tidak, dan jika ternyata hamil maka anak tersebut masih sebagai anak dari suami yang pertama. Selain itu, iddah dimaksudkan sebagai masa untuk ‘berpikir ulang’ bagi suami istri untuk menetukan kelanjutan hubungan mereka. Jika ternyata dalam masa iddah itu, suami istri menyesali perceraian mereka, mereka bias rujuk atau kembali ke ikatan pernikahan mereka yang lama. Aturan-aturan tentang talak, iddah, dan rujuk telah diatur dengan lengkap dalam agama islam.

  1. RUMUSAN MASALAH
1)    Apa pengertian dan hokum iddah?
2)    Apasaja macam-macam iddah?
3)    Apa hikmah dari iddah?
4)    Apa pengertian rujuk?
5)    Bagaimana hokum dari rujuk?
6)    Apasaja pembagian rujuk?
7)    Apasaja syarat dan rukun rujuk?
8)    Bagaimna konsekuensi rujuk?
9)    Bagaimana tatcara rujuk?
10) Apa hikmah dari rujuk?
11) Bagaimana hak tentang rujuk?
12) Hikmah pernikahan ?

  1. TUJUAN PENULISAN
1)    Untuk mengetahui apa pengertian dan hokum iddah?
2)    Untuk mengetahui apasaja macam-macam iddah?
3)    Untuk mengetahui apa hikmah dari iddah?
4)    Untuk mengetahui apa pengertian rujuk?
5)    Untuk mengetahui bagaimana hokum dari rujuk?
6)    Untuk mengetahui apasaja pembagian rujuk?
7)    Untuk mengetahui apasaja syarat dan rukun rujuk?
8)    Untuk mengetahui bagaimna konsekuensi rujuk?
9)    Untuk mengetahui bagaimana tatcara rujuk?
10) Untuk mengetahui apa hikmah dari rujuk?
11) Untuk mengetahui bagaimana hak tentang rujuk?
12) Pembahasan Hikmah pernikahan ?



BAB II
PEMBAHASAN


  1. IDDAH
  1. Pengertian dan Hukum Iddah
Iddah berasal dari kata adad, artinya menghitung. Maksudnya adalah perempuan (istri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.Dalam istilah agama, iddah mengandung arti lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah bercerai dari suaminya.
Jadi, iddah artinya satu masa dimana perempuan yang telah diceraikan, baik cerai mati atau cerai hidup, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan. Allah berfirman:
Artinya:                     
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوء
"wanita-wanita yang ditolak hendaknya menahan diri (menunggu tiga kali Quru')…"(Q.S. Al-Baqarah:228)

  1.  Macam-macam Iddah
Menurut sebab musababnya, iddah itu terbagi atas beberapa macam, yaitu:
1.    Iddah Talak
Artinya iddah yang terjadi karena perceraian. Perempuan yang berada dalam iddah talak, yaitu:
a)                           Perempuan yang telah dicampuri dan ia belum putus dalam haid.
Iddahnya ialah tiga kali suci dan dinamakan juga tiga kali quru'. Firman Allah SWT   

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِ ر                  
Artinya:
"wanita-wanita yang ditolak hendaknya menahan diri (menunggu tiga kali Quru'). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat".(Q.S. Al-Baqarah:228)
Mengenai arti quru' dalam ayat tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama' fiqih, antara lain:
Sebagian fuqoha berpendapat bahwa quru' itu artinya suci , yaitu masa diantara dua haid. Pendapat ini dari kalangan fuqoha anshor, seperti: Imam Malik, Imam Syafi'I,dan kebanyakan fuqoha dari madinah, juga Abu Saur, sedangkan dari kalangan sahabat antara  lain: Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, dan Aisyah r.a.
Adapun fuqoha yang berpendapat bahwa quru' adalah haid. Terdiri dari   Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Al-Auza'li, Ibnu Abi Laila. Dari kalangan sahabat antara lain: Ali r.a., Umar bin Khathab r.a., Ibnu Mas'ud r.a., dan Abu Musa Al-Asy'ari r.a.
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
 أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُن
Artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan ynga hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya".(Q.S. At-Thalak:4)
Jika kata "quru'un" dimaksudkan untuk pengertian suci, tentu iddah menurut golongan pertama dapat terjadi dengan dua setengah quru'un. Karena mereka berpendapat bahwa istri dapat beriddah dengan masa suci ketika ia dijatuhi talak, meskipun sebagian besar masa itu telah lewat. Jika demikian halnya, maka sebenarnya tiga kali masa suci tidak dapat disebut tiga, kecuali dengan pelampauan sebutan. Padahal sebutan tiga itu jelas dipakai untuk kelengkapan quru'un. Dengan demikian hal itu tidak sesuai kecualijika kata quru' itu berarti haid. Karena telah menjadi ijma' bahwa apabila istri telah diceraikan pada waktu haid, maka waktu haid ini tidak dihitung dalam bilangan iddahnya.
Masing-masing golongan mempunyai alasan yang kuatnya dari segi kata quru'un. Akan tetapi, pendapat yang diterima oleh para cendekiawan adalah bahw ayat tersebut memuat ketentuan yang mujmal (tidak gamblang) mengenai persoalan tersebut. Oleh karena itu harus dicari dalil bagi persoalan ini dari segi yang lain.
Alasan terkuat yang dijadikan pegangan oleh fuqoha yang berpendapat bahwa quru' itu berarti suci adalah hadits Ibnu umar, Nabi SAW bersabda:

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَاحَتَّى يَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ يُطَلِّقُهَااِنْ شَآءَقَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَافَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى
 اَمَر اللَّهُ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءَ
Artinya:
"Suruhlah dia, hendaklah ia merujuk istrinya sehingga ia haid, kemudian suci, kemudian haid lagi,kemudian menceraikannya jika mau, sebelum ia menyentuhnya. Demikian itulah iddah yang di perintahkan oleh Allah untuk menceraikan istri."
Mereka berpendapat bahwa ijma' fuqoha adalah tentang terjadinya talak suami pada masa suci yang tidak ada pergaulan padanya, demikian juga kata-kata Nabi SAW. Itulah iddah yang di perintahkan oleh Allah untuk menceraikan istri dan merupakan dalil yang jelas bahwa iddah adalah suci, agar talak dapat bersambung dengan iddah. Tetapi kata-kata Nabi SAW. Tersebut dapat pula diartikan bahwa masa tersebut adalah masa menghadapi iddah, agar quru' tidak terbagi-bagi dengan adanya talak dimasa haid.
Alasan paling kuat bagi fuqoha golongan kedua adalah bahwa iddah itu diadakan untuk mengetahui kosongnya rahim wanita yang di talak. Sedang kosongnya rahim dapat diketahui dengan haid, bukan dengan masa suci. Oleh karena itu iddah yang sudah monopouse adalah dengan ukuran hari yakni tiga bulan. Jadi haid merupakan sebab adanya iddah dengan quru'un. Oleh karena itu, quru'un harus diartikan haid.
Selanjutnya fuqoha yang mengatakan bahwa quru'un adalah masa suci mengemukakan alasan bahwa yang menjadi pedoman bgi kosongnya rahim seorang wanita adalah masa perpindahan darisuci kepada haid. Oleh karena itu, tidak ada artinya untuk berpegang padahaid yang terakhir. Jika demikian halnya, maka bilangan tiga yang diisyaratkan harus lengkap adalah masa-masa suci diantara dua haid.
b)         Perempuan yang di campuri dan tidak berhaid, baik ia perempuan yang belum baligh maupun perempuan tua yang tidak haid.
Perempuan yang tidak berhaid sama sekali sebelumnya, atau kemudian terputus haidnya, maka iddahnya adalah tiga bulan. Firman Allah SWT:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid".(At-Thalak:4)
c)         Perempuan yang tertalak dan belum disetubuhi
Bagi perempuan seperti ini, tidak ada iddah baginya. Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ
 تَعْتَدُّونَهَا....
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya."(Q.S. Al-Ahzab:49).
Dari uraian diatas, maka dapaat disimpulkan bahwa hak suami selama istri yang ditalak dalam masa iddah, maka ia boleh merujuknya kembali, kecuali kepada mantan istrinya yang ditalak ba'in sebab apabila suami hendak kembali kepada mereka harus dengan akad nikah baru. Khusus dalam talak tiga, apabila mantan suami hendak merujuk kembali, maka mantan istri harus sudah menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai serta sudah bercampur dengan suami kedua. Sedang dalam talak li'an, suami sama sekali tidak mempunyai hak untuk merujuk kembali.
Adapun kewajiban kepada mantan istri yang ditalak, maka selama dalam masa iddah, ia wajib memberikan nafkah dan tempat tinggal sesuai dengan jenis talaknya.

2.    Iddah Hamil
Artinya iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yang diceraikan itu sedang hamil. Iddah mereka adalah sampai melahirkan anak.
Firman Allah SWT:
...وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikannya baginya kemudahan dalam urusannya."
Perceraian ini terjadi baik cerai hidup ataupun cerai mati. Dalam sebuah hadits Nabi SAW. Disebutkan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ المِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ: أَنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ       زَوْجِهَا بِلَيَالٍ، فَجَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ، «فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ (رواه البخارى)
"Dari Miswar bin Mukhazamah r.a bahwa Subai'ah Al-Aslamiyah, pernah melahirkan anak sesudah suaminya meninggal dalam beberapa malam berselang. Kemudian ia datang kepada Nabi SAW. minta izin untuk menikah, lalu diizinkan oleh Rasulullah SAW. maka iapun menikah."(HR. Bukhari).
Kalau hamil dengan anak kembar, maka iddahnya belum habis sebelum anak kembarnya lahir semua. Sedangkan perempuan yang keguguran, maka iddahnya ialah sesudah melahirkan pula. Ayat itu menunjukkan bahwa iddah mati, sempurna badannya atau cacat, ruhnya ditiupkan atau belum.

3.    Iddah Wafat
Yaitu iddah terjadi apabila seorang perempuan ditinggal mati oleh suaminya. Dan iddahnya selama empat bulan sepuluh hari. Firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا......

Artinya:
"Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)empat bulan sepuluh hari."(Q.S. Al-Baqarah:234).
Apabila perempuan ditalak raj'I oleh suaminya, kemudian suaminya meninggal selama ia masih masa iddah, maka perempuan itu iddahnya seperti perempuan yang ditinggal mati suaminya. Karena ketika ia ditinggal mati suaminya, pada hakikatnya ia masih sebagai istrinya.
Kecuali kalau ditinggal mati sedang dalam keadaan mengandung, maka iddahnya memilih yang terpanjang dair kematian suaminya, atau malahirkan. Demikian pendapat yang mashur.


4.    Iddah wanita yang kehilangan suami
Bila ada seorang yang kehilangan suaminya, dan tidak diketahui dimana suaminya itu berada,apakah ia telah mati atau masih hidup,maka wajiblah ia menunggu empat tahun lamanya.sesudah itu hendaklah ia beriddah pula empat bulan sepuluh hari.
عَنْ عُمَرَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ:اَيُّمَاامْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَالَمْ نَدْرٍاَيْنَ هُوَفَاِنَّهَاتَنْتَظِرُاَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعِشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ (رواه مالك)
Artinya:
"Dari Umar r.a. berkata: "bagi perempuan yang kehilangan suaminya, dan ia tidak mengetahui dimana suaminya berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia beriddah empat bulan sepuluh hari, barulah ia boleh menikah."(HR.Malik)
Kalau suami itu hilang dalam pertempuran dan belum diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka wajiblah bagi istri menunggu setahun. Dalam sebuah hadits Nabi SAW, disebutkan:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ:اِذَافُقِدَ فِى الصَّفِّ فِى الْقِتَال تَتَرَبَّصُ اِمْرَاَتُهُ سَنَةً(رواه البخارى)
Artinya:
Dari Said bin Mussayyah r.a. berkata, "apabila seseorang hilang dalam barisan pertempuran,hendaknyalah istrinya menunggu setahun lamanya."(HR. Bukhari).
Kalau suaminya hilang dalam tawanan dan tidak diketahui tempatnya, maka ia di hukumi sebagai suami yang hilang tidak menentu tempatnya.
Hadits Nabi SAW:
قَالَ اَلزُّهْرِى فِى الاَسِيْرِ يُعْلَمْ مَكَانُهُ: لاَتَتَزَوَّجُ اِمْرَأَتُهُ وَلاَيُقْسَمُ مَالُهُ فَاِذَانْقَطَعَ خَبَرُهُ فَسُنَّتُهُ سُنَّةُالْمَفْقُوْدِ(رواه البخارى)
Artinya:
Berkata zuhri dala perkara tawanan yang diketahui tempatnya: "istriny itu tidak boleh menikah, dan hartanya itu belum boleh dibagi-bagi, bila telah putus kabar beritanya, maka aturannya adalah aturan suami yang hilang."(HR.Bukhari)
Sebelum iddah itu sampai, hukumnya haram bagi perempuan itu menikah. Allah SWT berfirman:
.......وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
 غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya:
"Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis masa iddahnya. Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya…"(Al-Baqarah:235).

5.    Iddah perempuan yang di Ila'
Jumhur fuqaha mengatakan bahwa ia harus menjalani iddah. Sebaliknya, Zabir bin Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah, jika ia telah mengalami haid tiga kali selama masa empat bulan. Pendapat ini juga dijadikan pegangan oleh segolongan fuqaha dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas r.a. dengan alasan bahwa diadakannya iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim.
Jumhur fuqaha beralasan bahwa istri yang di Ila' adalah istri yang dicerai juga, maka ia harus beriddah seperti perempuan yang dicerai.

  1. Hikmah Iddah
Adapun hikmah adanya iddah adalah sebagai berikut:
a.    Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur antara keturunan seorang dengan yang lain.
b.    Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.
c.    Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-orang arif mengkaji masalahnya, dan memberikan tempo berfikir panjang.
d.    Kebaikan perkawinan tidak terwujud sebelum kedua uami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.

  1. RUJUK
  1. Definisi Rujuk
Rujuk berarti kembali. Maksudnya ialah: hak yang diberikan oleh agama kepada bekas suami untuk melanjutkan perkawinannya dengan bekas isterinya yang telah ditalaknya pada pertengahan masa ‘iddahnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.
Dasar hukum dari rujuk sesuai dengan firman Allah s.w.t:

....وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا.....
Artinya:
"Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah."(Q.S. Al-Baqarah: 228)
Karena rujuk merupakan hak bekas suami,maka bekas isteri tidak dapat menghalangi maksud dari bekas suaminya itu apabila ia berkehendak melaksanakan haknya. Hal ini adalah karena rujuk bukanlah permulaan akad nikah yang baru, tetapi merupakan kelanjutan daripada akad nikah yang kemudian terjadi perceraian. Karena itu pihak isteri tidak berhak mendapat mahar yang baru diwaktu bekas suaminya merujukinya itu.Menurut Al-Mahali dalam Syariffudin (2009: 337) mendefinisikan rujuk sebagai kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan ba’in, selama dalam masa iddah.

  1. Hukum Rujuk
1)  Wajib, terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,
2)  Haram, apabila rujuknya berniat menyakiti istri,
3)  Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
4)  Mubah, ini adalah hukum rujuk yang asli dan
5)  Sunnah, apabila suami bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya (Rasjid, 1994: 418).

3.  Pembagian Rujuk
Rujuk dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a.  Rujuk untuk talak 1 dan 2 (talak raj’iy)
Dalam suatu hadist disebutkan : dari Ibnu Umar r.a. waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia berkata, “Adapun engkau yang telah menceraikan ( istri) baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW telah menyuruhku merujuk istriku kembali” (H.R. Muslim)
Karena besarnya hikmah yang terkandung dalam ikatan perkawinan, maka bila seorang suami telah menceraikan istrinya, ia telah diperintahkan oleh Allah SWT agar merujukinya kembali.
Firman  Allah SWT dalam surat Q.S. Al-Baqarah : 231, yang artinya:
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. Al-Baqarah : 231)
b.  Rujuk untuk talak 3 (talak ba’in)
Hukum rujuk pada talak ba’in sama dengan pernikahan baru, yaitu tentang persyaratan adanya mahar, wali, dan persetujuan. Hanya saja jumhur berpendapat bahwa utuk perkawinan ini tidak dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.
Mengenai macamnya rujuk, hanya dapat dilakukan dalam talak yang raj'i selama istri masih dalam masa iddah. Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُمَا لَمَّاسَأَلَهُ سَائِلٌ قَالَ: اَمَا اَنْتَ طَلَقْتَ اِمْرَاَتَكَ مَرَّةً اَوْمَرَّتَيْنِ فَاِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ اَمَرَنِى
 اَنْ اُرَجِعُهَا
Artinya:
Dari Ibnu Umar r.a waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia berkata,"Adapun engkau yang telah mencerikan istri baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW. telah menyuruhku merujuk istriku kembali."(HR.Muslim)
Firman Allah SWT:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ....
Artinya:
Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf pula."(Q.S. Al-Baqarah:231)

4.  Syarat dan Rukun Rujuk
Ø Bahwasannya rujuk mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1)  Saksi untuk rujuk
2)  Rujuk dengan kata-kata atau penggaulan istri
3)  Kedua belah pihak yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik
4)  Istri telah di campuri
5)  Istri baru dicerai dua kali
6)  Istri yang di cerai dalam masa iddah raj'i
Ø Rukun rujuk antara lain:
1)  Ada suami yang merujuk atau wakilnya
2)  Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampurinya
3)  Kedua belah pihak (suami dan istri) sama-sama suka
4)  Dengan pernyataan ijab qobul, seperti mengucapkan kata-kata rujuk misalnya:"aku rujuk engkau pada hari ini". Atau: "telah ku rujuk istriku yang bernama: … pada hari ini".dan sebagainya.[13]

5.  Konsekuensi Ruju’
Konsekuensi atau akibat dari rujuk sebenarnya tidak begitu eksterm atau keras, justru rujuk berfungsi sebagai penyelamat pernikahan dari rusaknya cinta dan hubungan pernikahannya yang tidak membaik. Dengan adanya rujuk maka setiap orang yang akan melepaskan hubungan pernikahannya akan sadar bahwa yang namanya thalak, berlanjut ke iddah, akan membuat seseorang itu bosan mengikuti proses-prosesnya. Jika seorang suami istri masih diberi kecintaan maka ia akan kembali lagi.
Pelaksanaan ruju’ sebaiknya dipersaksikan, hal tersebut digunakan untuk menghindari kemadhorotan dan menghindari fitnah. Aturan tentang ruju’ ini merupakan indikasi bahwa islam sebenarnya menghendaki perkawinan itu dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Oleh karena itu jika terjadi perceraian maka mantan suami dianjurkan untuk melaksakan ruju’ sebelum kesempatan tersebut diambil orang lain setelah masa ‘iddah selesai, pihak istri berhak menerima dan menolak ruju’ dari mantan suaminya itu. Di Indonesia terdapat adanya perpaduan hukum antara hukum islam,hukum positif, dan ada hukum adat pula. Jadi kompilasi hukum islam (KHI) mengatur persoalan ruju’ ini pada bab XVII pasal 163-166, sedangkan tata cara ruju’ diatur dalam pasal 167-169.

6.  Tata Cara Rujuk
Mengenai tata cara dalam rujuk, ada beberapa pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk. Diantara pasal-pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk serta tata caranya ialah:
Pasal 167 KHI:
1)  suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan,
2)  rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pencatat Nikah,
3)  pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuknya itu adalah istrinya,
4)  setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk, dan
5)  setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk (Ramulyo, 1996: 165-166)
Pasal 168 KHI:
Dalam hal rujuk yang dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap dua, diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan, pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya lima belas hari sesudah rujuk dilakukan danapabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya (Abdullah, 1994: 127).
Menurut Hakim, (2000: 213) tata cara mengenai rujuk dalam pasal 169 ialah sebagai berikut Pasal 169 KHI:
1)  Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami istri masing-masing diberi kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Mentri Agama,
2)  Suami istri atau kuasanya membawa Kutipan Buku Pendafaran Rujuk tersebut ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang tersedia pada Kutipan bahwa yang bersangkutan telah rujuk.
3)  Catatan yang dimaksud berisi tempat terjadinya rujuk, tangggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk, dan tanda tangan Panitera.

7.  Hikmah Rujuk
Subki (2010: 49) menyatakan dibolehkannya rujuk bagi suami yang hendak kembali kepada mantan istrinya mengandung beberapa hikmah, diantaranya sebagai berikut: rujuk memberikan kesempatan masing-masing pihak untuk menyadari kesalahan, mengapa mereka melakukan percerain dan saling memusuhi serta mengingatkan kembali masa indah saat belum bercerai, rujuk mengembalikan kecintaan seperti sediakala dan Allah SWT akan memberkahi perkawinan yang dilandasi dengan cinta dan kasih sayang serta dilandasi dengan ibadah kepada-Nya, dan rujuk dapat mengukuhkan kembali keretakan hubungan rumah tangga sehingga keutuhan keluarga dapat dipelihara.

8.  Hak Rujuk
Hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raj’i diatur berdasarkan Firman Allah surat Al Baqarah ayat 228 yang menyatakan: “Dan suami-suami berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami itu) menghendaki ishlah (perbaikan). Bekas suami yang merujuk bekas istrinya yang ditalak raj’i mempunyai batasan bahwa bekas suami itu bermaksud baik dan untuk mengadakan perbaikan. Tidak dibenarkan bekas suami mempergunakan hak merujuk itu dengan tujuan yang tidak baik atau berbuat zalim (Djamal, 1983: 284).

C. Hikmah Perkawinan
1.     Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat.
2.      Perkawinan untuk melanjutkan keturunan
3.      Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak.
4.      Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh –  sungguh dalam mencukupi keluarga.
5.      Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar.
6.      Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan.[9]

D.      Analisis Perbandingan
1.      Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan
Fiqh Munakahat sebagai hukum agama mendapat pengakuan resmi dari UU Perkawinan untuk mengatur hal – hal yang berkaitan dengan perkawinan. Dengan melihat Pasal 2 ayat (1)  tentang landasan hukum perkawinan itu berarti bahwa apa yang dinyatakan sah menurut fiqh munakahat juga disahkan menurut UU Perkawinan. UU Perkawinan secara prinsip dapat diterima karena tidak menyalahi ketentuan yang berlaku dalam fiqh munakahat tanpa melihat mazhab fiqh tertentu.

2.      KHI dan UU Perkawinan
KHI disusun dengan maksud untuk melengkapi UU Perkawinan dan diusahakan secara praktis mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu dan materinya tidak boleh bertentangan dengan UU Perkawinan untuk itu seluruh materi UU Perkawinan disalin ke dalam KHI meskipun rumusannya sedikit berbeda. Pasal-pasal KHI yang diatur diluar perundang-undangan merupakan pelengkap yang diambil dari fiqh munakahat, terutama menurut mazhab Syafi’iy.

3.      Fiqh Munakahat dan KHI
Di atas telah dijelaskan hubungan antara fiqh munakahat dengan UU Perkawinan  tentang perkawinan dengan segala kemungkinannya. dan dijelaskan pula bahwa KHI adalah UU Perkawinan yang dilengkapi dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat adalah bagian dari KHI. Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak seluruhnya sama dengan fiqh munakahat yang terdapat dalam mazhab yang dianut selama ini mazhab Syafi’iy.


BAB III
PENUTUP

  1. KESIMPULAN

‘Iddah berasal dari kata al-‘adad, artinya bilangan dan menghitung, yaitu hari yang dihitung dan dipergunakan bagi seorang perempuan selama ia suci dari haid. dalam syara’, ‘iddah  artinya waktu menunggu dan dilarang kawin, setelah seorang perempuan ditinggal mati atau diceraikan suaminya
Bagi seorang istri yang masih berhaidh, tiga kali suci.Bagi seorang istri yang sudah tidak berhaidh, tiga bulan.Bagi seorang istri yang sedang hamil, sampai melahirkan.Bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya, bila ia tidak hamil, empat bulan sepuluh hari.
Rujuk dan segi bahasa kembali atau pulang. Dari segi istilah hukum syarak rujuk bermaksud mengembalikan perempuan kepada nikah selepas perceraian kurang daripada tiga kali dalam masa iddah dengan syarat-syarat tertentu.

  1. SARAN

Tak ada gading yang tak retak, demikian pula pada diri penulis. Sekecil apapun kebenaran yang terkandung dalam makalah ini,semuanya bermula dari keridhoan Allah SWT. Dan segala kesa;lahan yang ada pada penulisan makalah ini, maka semua itu berasal dari diri penulis. Oleh karenanya sangat penulis harapkan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan dalam pembuatan makalah-makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapaat memberikan manfaat terutama bagi diri penulis sendiri, dan memberikan manfaat pula bagi para pembaca . kepada semua pihak, atas perhatian dan kerja samanya penulis ucapkan banyak terima kasih.



DAFTAR PUSTAKA



Supriatna, dkk Drs. 2008. Fiqh munakahat II. yogyakarta : bidang akademik UIN sunan kalijaga.
Mukhtar Kamal. Drs. 1974.Asas-asas hukum islam tentang perkawinan. jakarta: Bulan bintang.
Marwani AI. 1975.  Hukum Perkawinan Dalam Islam. Yogyakarta: BPFE.
Al Hamdani diterjemah Agus Salim. 2002. Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta: Pustaka Amani.
Subkhi, Ali as. 2010. Fiqih Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Yunus,Mahmud. 1956. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: Al-hidayah.
Al Hamdani diterjemah Agus Salim, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 299.
Ashab adalah baju dari Yaman di dalamnya terdapat putih dan hitam.
Ali As Subkhi, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 351.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: ………, 1956), hlm.143.
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 231.
Al Hamdani, ibid, hlm. 303.
Kamal Mukhtar, ibid,.
Al-Hamdani, ibid, hlm. 301.
Marwani AI, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1975), hlm. 29
Dr. Kamal Muchtar, ibid., hlm 230.
 Drs. Supriatna, Fiqh Munakahat II, cet I (Yogyakarta, UIN Suka , 2008), hlm 71.
Drs. Kamal Mukhtar, ibid., hlm. 238.
Kamal mukhtar, Ibid, hlm. 238.
Drs Supriatna Dkk, ibid.,, hlm 71.
Ibid,. hlm.76.








No comments:

Post a Comment

pengobatan lama menikah belum punya anak

doa membuka aura wajah supaya awet muda dan bercahaya

doa membuka aura wajah supaya awet muda dan bercahaya

BISNIS 2018