MAKALAH
“IDDAH,
RUJUK DAN HIKMAH PERKAWINAN”
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
:
SMA
NEG.14 SINJAI
TAHUN
PELAJARAN 2017/2018
KATA
PENGATAR
Dengan
mengucapkan bismilahhirrahmannirrahim dan syukur atas kehadhirat Allah SWT
dengan rahmat dan hidayahnya. Shalawat dan salam kita haturkan kepada Nabi
Besar Muhammad SAW, Sehingga penulis telah menyelesaikan makalah agama tentang
Iddah ,Rujuk dan Hikmah Pernikahan.
Hormat ananda kepada
orang tua dan keluarga tercinta yang selalu memberikan motivasi dan dukungan
doa selama penulis menempuh pendidikan.Teman–temansatu angkatan yang selalu
memberikan motivasi, dukungan, semangat, canda dan tawa serta Semua pihak yang
tidak bisa peneliti sebutkan satu – persatu yang telah membantu penulis baik
langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan makalah ini.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN........................................................ 1
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................
1
C. TUJUAN PENELITIAN............................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
A.
IDDAH...................................................................................................... 3
B.
RUJUK...................................................................................................... 8
C.
HIKMAH
PERKAWINAN …………………………………………….12
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN......................................................................................... 14
B. SARAN..................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..15
BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Pernikahan merupakan sesuatu yang amat sakral
dalam pandangan islam. Pernikahan juga merupakan salah satu sunnah rasul yang
harus di jalani dalam mengarungi sebuah bahtera kehidupan serta menjadi suatu
dasar yang penting dalam memelihara kemashlahatan umum. Kalau tidak ada
pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat. Pada dasarnya, dua orang
(laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga
dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal dengan istilah membentuk
keluarga sakinah, mawaddah, warahma. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua
rumah tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi kebahagiaan. Kadang
ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada
perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah
mengatur segala hal tentang kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian
(thalak), rujuk, idah, dan sebagainya. Talak dapat dilaksanakan dalam keadaan
yang sangat membutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk mengadakan perbaikan.
Hal ini antara lain dibolehkan apabila suami istri sudah tidak dapat melakukan
kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, sehingga tujuan rumah
tangga yang pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang tenang dan bahagia
sudah tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan
penderitaan-penderitaan dan perpecahan antara suami istri tersebut, maka dalam
keadaan demikian perceraian dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi
segala penderitaan baik yang menimpa suami atau istri.
Namun demikian, bagi wanita yang dicerai oleh
suaminya, baik cerai biasa atau cerai mati (ditinggal mati), tidaklah boleh
langsung menikah lagi dengan laki-laki lain, melainkan ia harus menunggu untuk
sementara waktu lebih dahulu. Masa menunggu bagi wanita yang bercerai itu
disebut iddah. Diadakan masa iddah itu dimaksudkan untuk mengetahui apakah
selama masa iddah itu wanita tersebut hamil atau tidak, dan jika ternyata hamil
maka anak tersebut masih sebagai anak dari suami yang pertama. Selain itu,
iddah dimaksudkan sebagai masa untuk ‘berpikir ulang’ bagi suami istri untuk
menetukan kelanjutan hubungan mereka. Jika ternyata dalam masa iddah itu, suami
istri menyesali perceraian mereka, mereka bias rujuk atau kembali ke ikatan
pernikahan mereka yang lama. Aturan-aturan tentang talak, iddah, dan rujuk
telah diatur dengan lengkap dalam agama islam.
- RUMUSAN MASALAH
1)
Apa
pengertian dan hokum iddah?
2)
Apasaja
macam-macam iddah?
3)
Apa
hikmah dari iddah?
4)
Apa
pengertian rujuk?
5)
Bagaimana
hokum dari rujuk?
6)
Apasaja
pembagian rujuk?
7)
Apasaja
syarat dan rukun rujuk?
8)
Bagaimna
konsekuensi rujuk?
9)
Bagaimana
tatcara rujuk?
10)
Apa
hikmah dari rujuk?
11)
Bagaimana
hak tentang rujuk?
12)
Hikmah
pernikahan ?
- TUJUAN PENULISAN
1)
Untuk
mengetahui apa pengertian dan hokum iddah?
2)
Untuk
mengetahui apasaja macam-macam iddah?
3)
Untuk
mengetahui apa hikmah dari iddah?
4)
Untuk
mengetahui apa pengertian rujuk?
5)
Untuk
mengetahui bagaimana hokum dari rujuk?
6)
Untuk
mengetahui apasaja pembagian rujuk?
7)
Untuk
mengetahui apasaja syarat dan rukun rujuk?
8)
Untuk
mengetahui bagaimna konsekuensi rujuk?
9)
Untuk
mengetahui bagaimana tatcara rujuk?
10)
Untuk
mengetahui apa hikmah dari rujuk?
11)
Untuk
mengetahui bagaimana hak tentang rujuk?
12)
Pembahasan
Hikmah pernikahan ?
BAB II
PEMBAHASAN
- IDDAH
- Pengertian
dan Hukum Iddah
Iddah berasal dari kata adad, artinya
menghitung. Maksudnya adalah perempuan (istri) menghitung hari-harinya dan masa
bersihnya.Dalam istilah agama, iddah mengandung arti lamanya perempuan (istri)
menunggu dan tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah
bercerai dari suaminya.
Jadi, iddah artinya satu masa dimana
perempuan yang telah diceraikan, baik cerai mati atau cerai hidup, harus
menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari
kandungan. Allah berfirman:
Artinya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ
قُرُوء
"wanita-wanita
yang ditolak hendaknya menahan diri (menunggu tiga kali Quru')…"(Q.S.
Al-Baqarah:228)
- Macam-macam Iddah
Menurut sebab
musababnya, iddah itu terbagi atas beberapa macam, yaitu:
1.
Iddah
Talak
Artinya iddah yang
terjadi karena perceraian. Perempuan yang berada dalam iddah talak, yaitu:
a)
Perempuan
yang telah dicampuri dan ia belum putus dalam haid.
Iddahnya ialah tiga kali suci dan dinamakan
juga tiga kali quru'. Firman Allah SWT
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِ ر
Artinya:
"wanita-wanita yang ditolak hendaknya
menahan diri (menunggu tiga kali Quru'). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat".(Q.S. Al-Baqarah:228)
Mengenai arti quru'
dalam ayat tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama' fiqih,
antara lain:
Sebagian fuqoha
berpendapat bahwa quru' itu artinya suci , yaitu masa diantara dua haid.
Pendapat ini dari kalangan fuqoha anshor, seperti: Imam Malik, Imam Syafi'I,dan
kebanyakan fuqoha dari madinah, juga Abu Saur, sedangkan dari kalangan sahabat
antara lain: Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit,
dan Aisyah r.a.
Adapun fuqoha yang
berpendapat bahwa quru' adalah haid. Terdiri dari Imam
Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Al-Auza'li, Ibnu Abi Laila. Dari kalangan sahabat
antara lain: Ali r.a., Umar bin Khathab r.a., Ibnu Mas'ud r.a., dan Abu Musa
Al-Asy'ari r.a.
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ
إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَنْ
يَضَعْنَ حَمْلَهُن
Artinya:
"Dan
perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan-perempuanmu
jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga
bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan
perempuan-perempuan ynga hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya".(Q.S. At-Thalak:4)
Jika kata
"quru'un" dimaksudkan untuk pengertian suci, tentu iddah menurut
golongan pertama dapat terjadi dengan dua setengah quru'un. Karena mereka
berpendapat bahwa istri dapat beriddah dengan masa suci ketika ia dijatuhi
talak, meskipun sebagian besar masa itu telah lewat. Jika demikian halnya, maka
sebenarnya tiga kali masa suci tidak dapat disebut tiga, kecuali dengan
pelampauan sebutan. Padahal sebutan tiga itu jelas dipakai untuk kelengkapan
quru'un. Dengan demikian hal itu tidak sesuai kecualijika kata quru' itu
berarti haid. Karena telah menjadi ijma' bahwa apabila istri telah diceraikan
pada waktu haid, maka waktu haid ini tidak dihitung dalam bilangan iddahnya.
Masing-masing
golongan mempunyai alasan yang kuatnya dari segi kata quru'un. Akan tetapi,
pendapat yang diterima oleh para cendekiawan adalah bahw ayat tersebut memuat
ketentuan yang mujmal (tidak gamblang) mengenai persoalan tersebut. Oleh karena
itu harus dicari dalil bagi persoalan ini dari segi yang lain.
Alasan terkuat yang
dijadikan pegangan oleh fuqoha yang berpendapat bahwa quru' itu berarti suci
adalah hadits Ibnu umar, Nabi SAW bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَاحَتَّى يَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ
ثُمَّ تَحِيْضَ حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ يُطَلِّقُهَااِنْ شَآءَقَبْلَ أَنْ
يَمَسَّهَافَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى
اَمَر اللَّهُ
تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءَ
Artinya:
"Suruhlah dia,
hendaklah ia merujuk istrinya sehingga ia haid, kemudian suci, kemudian haid
lagi,kemudian menceraikannya jika mau, sebelum ia menyentuhnya. Demikian itulah
iddah yang di perintahkan oleh Allah untuk menceraikan istri."
Mereka berpendapat
bahwa ijma' fuqoha adalah tentang terjadinya talak suami pada masa suci yang
tidak ada pergaulan padanya, demikian juga kata-kata Nabi SAW. Itulah iddah
yang di perintahkan oleh Allah untuk menceraikan istri dan merupakan dalil yang
jelas bahwa iddah adalah suci, agar talak dapat bersambung dengan iddah. Tetapi
kata-kata Nabi SAW. Tersebut dapat pula diartikan bahwa masa tersebut adalah
masa menghadapi iddah, agar quru' tidak terbagi-bagi dengan adanya talak dimasa
haid.
Alasan paling kuat
bagi fuqoha golongan kedua adalah bahwa iddah itu diadakan untuk mengetahui
kosongnya rahim wanita yang di talak. Sedang kosongnya rahim dapat diketahui
dengan haid, bukan dengan masa suci. Oleh karena itu iddah yang sudah monopouse
adalah dengan ukuran hari yakni tiga bulan. Jadi haid merupakan sebab adanya
iddah dengan quru'un. Oleh karena itu, quru'un harus diartikan haid.
Selanjutnya fuqoha
yang mengatakan bahwa quru'un adalah masa suci mengemukakan alasan bahwa yang
menjadi pedoman bgi kosongnya rahim seorang wanita adalah masa perpindahan
darisuci kepada haid. Oleh karena itu, tidak ada artinya untuk berpegang
padahaid yang terakhir. Jika demikian halnya, maka bilangan tiga yang
diisyaratkan harus lengkap adalah masa-masa suci diantara dua haid.
b)
Perempuan yang di campuri dan tidak
berhaid, baik ia perempuan yang belum baligh maupun perempuan tua yang tidak
haid.
Perempuan yang tidak
berhaid sama sekali sebelumnya, atau kemudian terputus haidnya, maka iddahnya
adalah tiga bulan. Firman Allah SWT:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ
إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya:
"Dan
perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan-perempuanmu
jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga
bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid".(At-Thalak:4)
c)
Perempuan yang tertalak dan belum
disetubuhi
Bagi perempuan
seperti ini, tidak ada iddah baginya. Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا
لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ
تَعْتَدُّونَهَا....
Artinya:
"Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib
atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya."(Q.S.
Al-Ahzab:49).
Dari uraian diatas,
maka dapaat disimpulkan bahwa hak suami selama istri yang ditalak dalam masa
iddah, maka ia boleh merujuknya kembali, kecuali kepada mantan istrinya yang
ditalak ba'in sebab apabila suami hendak kembali kepada mereka harus dengan
akad nikah baru. Khusus dalam talak tiga, apabila mantan suami hendak merujuk
kembali, maka mantan istri harus sudah menikah dengan laki-laki lain dan telah
bercerai serta sudah bercampur dengan suami kedua. Sedang dalam talak li'an,
suami sama sekali tidak mempunyai hak untuk merujuk kembali.
Adapun kewajiban
kepada mantan istri yang ditalak, maka selama dalam masa iddah, ia wajib
memberikan nafkah dan tempat tinggal sesuai dengan jenis talaknya.
2.
Iddah
Hamil
Artinya iddah yang
terjadi apabila perempuan-perempuan yang diceraikan itu sedang hamil. Iddah
mereka adalah sampai melahirkan anak.
Firman Allah SWT:
...وَأُولَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ
يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Artinya:
"Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya
Allah menjadikannya baginya kemudahan dalam urusannya."
Perceraian ini
terjadi baik cerai hidup ataupun cerai mati. Dalam sebuah hadits Nabi SAW.
Disebutkan:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنِ المِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ: أَنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ
نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا
بِلَيَالٍ، فَجَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَتْهُ
أَنْ تَنْكِحَ، «فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ (رواه البخارى)
"Dari Miswar bin Mukhazamah r.a bahwa
Subai'ah Al-Aslamiyah, pernah melahirkan anak sesudah suaminya meninggal dalam
beberapa malam berselang. Kemudian ia datang kepada Nabi SAW. minta izin untuk
menikah, lalu diizinkan oleh Rasulullah SAW. maka iapun menikah."(HR.
Bukhari).
Kalau hamil dengan
anak kembar, maka iddahnya belum habis sebelum anak kembarnya lahir semua.
Sedangkan perempuan yang keguguran, maka iddahnya ialah sesudah melahirkan
pula. Ayat itu menunjukkan bahwa iddah mati, sempurna badannya atau cacat,
ruhnya ditiupkan atau belum.
3.
Iddah
Wafat
Yaitu iddah terjadi
apabila seorang perempuan ditinggal mati oleh suaminya. Dan iddahnya selama
empat bulan sepuluh hari. Firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا......
Artinya:
"Orang-orang
yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)empat bulan sepuluh hari."(Q.S.
Al-Baqarah:234).
Apabila perempuan
ditalak raj'I oleh suaminya, kemudian suaminya meninggal selama ia masih masa
iddah, maka perempuan itu iddahnya seperti perempuan yang ditinggal mati
suaminya. Karena ketika ia ditinggal mati suaminya, pada hakikatnya ia masih
sebagai istrinya.
Kecuali kalau
ditinggal mati sedang dalam keadaan mengandung, maka iddahnya memilih yang
terpanjang dair kematian suaminya, atau malahirkan. Demikian pendapat yang
mashur.
4.
Iddah
wanita yang kehilangan suami
Bila ada seorang yang
kehilangan suaminya, dan tidak diketahui dimana suaminya itu berada,apakah ia
telah mati atau masih hidup,maka wajiblah ia menunggu empat tahun
lamanya.sesudah itu hendaklah ia beriddah pula empat bulan sepuluh hari.
عَنْ عُمَرَ رَضِىَ
اللّهُ عَنْهُ قَالَ:اَيُّمَاامْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَالَمْ نَدْرٍاَيْنَ
هُوَفَاِنَّهَاتَنْتَظِرُاَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ
وَعِشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ (رواه مالك)
Artinya:
"Dari Umar r.a.
berkata: "bagi perempuan yang kehilangan suaminya, dan ia tidak mengetahui
dimana suaminya berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun,
kemudian hendaklah ia beriddah empat bulan sepuluh hari, barulah ia boleh
menikah."(HR.Malik)
Kalau suami itu
hilang dalam pertempuran dan belum diketahui apakah ia masih hidup atau sudah
mati, maka wajiblah bagi istri menunggu setahun. Dalam sebuah hadits Nabi SAW,
disebutkan:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ
قَالَ:اِذَافُقِدَ فِى الصَّفِّ فِى الْقِتَال تَتَرَبَّصُ اِمْرَاَتُهُ
سَنَةً(رواه البخارى)
Artinya:
Dari Said bin
Mussayyah r.a. berkata, "apabila seseorang hilang dalam barisan
pertempuran,hendaknyalah istrinya menunggu setahun lamanya."(HR. Bukhari).
Kalau suaminya hilang
dalam tawanan dan tidak diketahui tempatnya, maka ia di hukumi sebagai suami
yang hilang tidak menentu tempatnya.
Hadits Nabi SAW:
قَالَ اَلزُّهْرِى فِى الاَسِيْرِ يُعْلَمْ مَكَانُهُ: لاَتَتَزَوَّجُ
اِمْرَأَتُهُ وَلاَيُقْسَمُ مَالُهُ فَاِذَانْقَطَعَ خَبَرُهُ فَسُنَّتُهُ
سُنَّةُالْمَفْقُوْدِ(رواه البخارى)
Artinya:
Berkata zuhri dala
perkara tawanan yang diketahui tempatnya: "istriny itu tidak boleh
menikah, dan hartanya itu belum boleh dibagi-bagi, bila telah putus kabar
beritanya, maka aturannya adalah aturan suami yang hilang."(HR.Bukhari)
Sebelum iddah itu
sampai, hukumnya haram bagi perempuan itu menikah. Allah SWT berfirman:
.......وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ
حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي
أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya:
"Dan janganlah
kamu ber'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis masa iddahnya.
Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah
kepada-Nya…"(Al-Baqarah:235).
5.
Iddah
perempuan yang di Ila'
Jumhur fuqaha
mengatakan bahwa ia harus menjalani iddah. Sebaliknya, Zabir bin Zaid
berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah, jika ia telah mengalami haid tiga kali
selama masa empat bulan. Pendapat ini juga dijadikan pegangan oleh segolongan
fuqaha dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas r.a. dengan alasan bahwa
diadakannya iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim.
Jumhur fuqaha
beralasan bahwa istri yang di Ila' adalah istri yang dicerai juga, maka ia
harus beriddah seperti perempuan yang dicerai.
- Hikmah
Iddah
Adapun hikmah adanya
iddah adalah sebagai berikut:
a.
Untuk
mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur antara
keturunan seorang dengan yang lain.
b.
Memberi
kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan
semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.
c.
Menjunjung
tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-orang arif mengkaji
masalahnya, dan memberikan tempo berfikir panjang.
d.
Kebaikan
perkawinan tidak terwujud sebelum kedua uami istri sama-sama hidup lama dalam
ikatan akadnya.
- RUJUK
- Definisi
Rujuk
Rujuk berarti kembali. Maksudnya ialah: hak
yang diberikan oleh agama kepada bekas suami untuk melanjutkan perkawinannya
dengan bekas isterinya yang telah ditalaknya pada pertengahan masa ‘iddahnya
sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.
Dasar hukum dari
rujuk sesuai dengan firman Allah s.w.t:
....وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ
فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا.....
Artinya:
"Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) itu menghendaki islah."(Q.S. Al-Baqarah: 228)
Karena rujuk merupakan hak bekas suami,maka
bekas isteri tidak dapat menghalangi maksud dari bekas suaminya itu apabila ia
berkehendak melaksanakan haknya. Hal ini adalah karena rujuk bukanlah permulaan
akad nikah yang baru, tetapi merupakan kelanjutan daripada akad nikah yang
kemudian terjadi perceraian. Karena itu pihak isteri tidak berhak mendapat
mahar yang baru diwaktu bekas suaminya merujukinya itu.Menurut Al-Mahali dalam
Syariffudin (2009: 337) mendefinisikan rujuk sebagai kembali ke dalam hubungan
perkawinan dari cerai yang bukan ba’in, selama dalam masa iddah.
- Hukum
Rujuk
1) Wajib, terhadap suami
yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya
terhadap istri yang ditalak,
2) Haram, apabila
rujuknya berniat menyakiti istri,
3) Makruh, kalau
perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
4) Mubah, ini adalah
hukum rujuk yang asli dan
5) Sunnah, apabila suami
bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau rujuk itu lebih berfaedah bagi
keduanya (Rasjid, 1994: 418).
3.
Pembagian Rujuk
Rujuk dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Rujuk untuk talak 1
dan 2 (talak raj’iy)
Dalam suatu hadist
disebutkan : dari Ibnu Umar r.a. waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia
berkata, “Adapun engkau yang telah menceraikan ( istri) baru sekali atau dua
kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW telah menyuruhku merujuk istriku
kembali” (H.R. Muslim)
Karena besarnya
hikmah yang terkandung dalam ikatan perkawinan, maka bila seorang suami telah
menceraikan istrinya, ia telah diperintahkan oleh Allah SWT agar merujukinya
kembali.
Firman Allah SWT dalam surat Q.S. Al-Baqarah : 231,
yang artinya:
“Apabila kamu
mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf
(pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia
Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan
hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang
Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah
memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah
kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
(Q.S. Al-Baqarah : 231)
b. Rujuk untuk talak 3
(talak ba’in)
Hukum rujuk pada
talak ba’in sama dengan pernikahan baru, yaitu tentang persyaratan adanya
mahar, wali, dan persetujuan. Hanya saja jumhur berpendapat bahwa utuk
perkawinan ini tidak dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.
Mengenai macamnya
rujuk, hanya dapat dilakukan dalam talak yang raj'i selama istri masih dalam
masa iddah. Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُمَا لَمَّاسَأَلَهُ
سَائِلٌ قَالَ: اَمَا اَنْتَ طَلَقْتَ اِمْرَاَتَكَ مَرَّةً اَوْمَرَّتَيْنِ
فَاِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ اَمَرَنِى
اَنْ اُرَجِعُهَا
Artinya:
Dari Ibnu Umar r.a waktu itu ia ditanya oleh
seseorang, ia berkata,"Adapun engkau yang telah mencerikan istri baru
sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW. telah menyuruhku
merujuk istriku kembali."(HR.Muslim)
Firman Allah SWT:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ....
Artinya:
Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu
mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang baik,
atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf pula."(Q.S.
Al-Baqarah:231)
4.
Syarat dan Rukun
Rujuk
Ø Bahwasannya rujuk
mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1)
Saksi
untuk rujuk
2)
Rujuk
dengan kata-kata atau penggaulan istri
3)
Kedua
belah pihak yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik
4)
Istri
telah di campuri
5)
Istri
baru dicerai dua kali
6)
Istri
yang di cerai dalam masa iddah raj'i
Ø Rukun rujuk antara
lain:
1)
Ada
suami yang merujuk atau wakilnya
2)
Ada
istri yang dirujuk dan sudah dicampurinya
3)
Kedua
belah pihak (suami dan istri) sama-sama suka
4)
Dengan
pernyataan ijab qobul, seperti mengucapkan kata-kata rujuk misalnya:"aku
rujuk engkau pada hari ini". Atau: "telah ku rujuk istriku yang
bernama: … pada hari ini".dan sebagainya.[13]
5.
Konsekuensi Ruju’
Konsekuensi atau akibat dari rujuk sebenarnya
tidak begitu eksterm atau keras, justru rujuk berfungsi sebagai penyelamat
pernikahan dari rusaknya cinta dan hubungan pernikahannya yang tidak membaik.
Dengan adanya rujuk maka setiap orang yang akan melepaskan hubungan
pernikahannya akan sadar bahwa yang namanya thalak, berlanjut ke iddah, akan
membuat seseorang itu bosan mengikuti proses-prosesnya. Jika seorang suami
istri masih diberi kecintaan maka ia akan kembali lagi.
Pelaksanaan ruju’ sebaiknya dipersaksikan,
hal tersebut digunakan untuk menghindari kemadhorotan dan menghindari fitnah.
Aturan tentang ruju’ ini merupakan indikasi bahwa islam sebenarnya menghendaki
perkawinan itu dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Oleh karena itu jika
terjadi perceraian maka mantan suami dianjurkan untuk melaksakan ruju’ sebelum
kesempatan tersebut diambil orang lain setelah masa ‘iddah selesai, pihak istri
berhak menerima dan menolak ruju’ dari mantan suaminya itu. Di Indonesia
terdapat adanya perpaduan hukum antara hukum islam,hukum positif, dan ada hukum
adat pula. Jadi kompilasi hukum islam (KHI) mengatur persoalan ruju’ ini pada
bab XVII pasal 163-166, sedangkan tata cara ruju’ diatur dalam pasal 167-169.
6.
Tata Cara Rujuk
Mengenai tata cara dalam rujuk, ada beberapa
pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk. Diantara pasal-pasal yang mengatur
tata cara dalam rujuk serta tata caranya ialah:
Pasal
167 KHI:
1) suami yang hendak
merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri
dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain
yang diperlukan,
2) rujuk dilakukan
dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pencatat Nikah,
3) pegawai Pencatat
Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi
syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu
masih dalam talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuknya itu adalah
istrinya,
4) setelah itu suami
mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi
menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk, dan
5) setelah rujuk itu
dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum
dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk (Ramulyo, 1996: 165-166)
Pasal
168 KHI:
Dalam hal rujuk yang
dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat
rangkap dua, diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan
beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat
dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan, pengiriman lembar pertama
dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan
selambat-lambatnya lima belas hari sesudah rujuk dilakukan danapabila lembar
pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang
sebab-sebab hilangnya (Abdullah, 1994: 127).
Menurut Hakim, (2000:
213) tata cara mengenai rujuk dalam pasal 169 ialah sebagai berikut Pasal 169
KHI:
1) Pegawai Pencatat
Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya
kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan
kepada suami istri masing-masing diberi kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut
contoh yang ditetapkan oleh Mentri Agama,
2) Suami istri atau
kuasanya membawa Kutipan Buku Pendafaran Rujuk tersebut ke Pengadilan Agama di
tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta
Nikah masing-masing setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang
tersedia pada Kutipan bahwa yang bersangkutan telah rujuk.
3) Catatan yang dimaksud
berisi tempat terjadinya rujuk, tangggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal
Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk, dan tanda tangan Panitera.
7.
Hikmah Rujuk
Subki (2010: 49) menyatakan dibolehkannya
rujuk bagi suami yang hendak kembali kepada mantan istrinya mengandung beberapa
hikmah, diantaranya sebagai berikut: rujuk memberikan kesempatan masing-masing
pihak untuk menyadari kesalahan, mengapa mereka melakukan percerain dan saling
memusuhi serta mengingatkan kembali masa indah saat belum bercerai, rujuk
mengembalikan kecintaan seperti sediakala dan Allah SWT akan memberkahi
perkawinan yang dilandasi dengan cinta dan kasih sayang serta dilandasi dengan
ibadah kepada-Nya, dan rujuk dapat mengukuhkan kembali keretakan hubungan rumah
tangga sehingga keutuhan keluarga dapat dipelihara.
8.
Hak Rujuk
Hak merujuk bekas suami terhadap bekas
istrinya yang ditalak raj’i diatur berdasarkan Firman Allah surat Al Baqarah
ayat 228 yang menyatakan: “Dan suami-suami berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami itu) menghendaki ishlah (perbaikan). Bekas
suami yang merujuk bekas istrinya yang ditalak raj’i mempunyai batasan bahwa
bekas suami itu bermaksud baik dan untuk mengadakan perbaikan. Tidak dibenarkan
bekas suami mempergunakan hak merujuk itu dengan tujuan yang tidak baik atau
berbuat zalim (Djamal, 1983: 284).
C. Hikmah Perkawinan
1. Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan
menghindarkan perbuatan maksiat.
2. Perkawinan untuk melanjutkan keturunan
3. Bisa saling melengkapi dalam suasana
hidup dengan anak – anak.
4. Menimbulkan tanggung jawab dan
menimbulkan sikap rajin dan sungguh – sungguh
dalam mencukupi keluarga.
5. Adanya pembagian tugas, yang satu
mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar.
6. Menumbuhkan tali kekeluargaan dan
mempererat hubungan.[9]
D. Analisis Perbandingan
1. Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan
Fiqh
Munakahat sebagai hukum agama mendapat pengakuan resmi dari UU Perkawinan untuk
mengatur hal – hal yang berkaitan dengan perkawinan. Dengan melihat Pasal 2
ayat (1) tentang landasan hukum
perkawinan itu berarti bahwa apa yang dinyatakan sah menurut fiqh munakahat
juga disahkan menurut UU Perkawinan. UU Perkawinan secara prinsip dapat
diterima karena tidak menyalahi ketentuan yang berlaku dalam fiqh munakahat
tanpa melihat mazhab fiqh tertentu.
2. KHI dan UU Perkawinan
KHI
disusun dengan maksud untuk melengkapi UU Perkawinan dan diusahakan secara
praktis mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan meskipun kedudukannya
tidak sama dengan itu dan materinya tidak boleh bertentangan dengan UU
Perkawinan untuk itu seluruh materi UU Perkawinan disalin ke dalam KHI meskipun
rumusannya sedikit berbeda. Pasal-pasal KHI yang diatur diluar
perundang-undangan merupakan pelengkap yang diambil dari fiqh munakahat,
terutama menurut mazhab Syafi’iy.
3. Fiqh Munakahat dan KHI
Di atas
telah dijelaskan hubungan antara fiqh munakahat dengan UU Perkawinan tentang perkawinan dengan segala
kemungkinannya. dan dijelaskan pula bahwa KHI adalah UU Perkawinan yang
dilengkapi dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat
adalah bagian dari KHI. Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak
seluruhnya sama dengan fiqh munakahat yang terdapat dalam mazhab yang dianut
selama ini mazhab Syafi’iy.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
‘Iddah berasal dari kata al-‘adad, artinya
bilangan dan menghitung, yaitu hari yang dihitung dan dipergunakan bagi seorang
perempuan selama ia suci dari haid. dalam syara’, ‘iddah artinya waktu menunggu dan dilarang kawin,
setelah seorang perempuan ditinggal mati atau diceraikan suaminya
Bagi seorang istri yang masih berhaidh, tiga
kali suci.Bagi seorang istri yang sudah tidak berhaidh, tiga bulan.Bagi seorang
istri yang sedang hamil, sampai melahirkan.Bagi seorang istri yang ditinggal
mati suaminya, bila ia tidak hamil, empat bulan sepuluh hari.
Rujuk dan segi bahasa kembali atau pulang.
Dari segi istilah hukum syarak rujuk bermaksud mengembalikan perempuan kepada
nikah selepas perceraian kurang daripada tiga kali dalam masa iddah dengan
syarat-syarat tertentu.
- SARAN
Tak ada gading yang tak retak, demikian pula
pada diri penulis. Sekecil apapun kebenaran yang terkandung dalam makalah
ini,semuanya bermula dari keridhoan Allah SWT. Dan segala kesa;lahan yang ada
pada penulisan makalah ini, maka semua itu berasal dari diri penulis. Oleh
karenanya sangat penulis harapkan saran yang membangun dari semua pihak demi
perbaikan dalam pembuatan makalah-makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapaat memberikan manfaat
terutama bagi diri penulis sendiri, dan memberikan manfaat pula bagi para
pembaca . kepada semua pihak, atas perhatian dan kerja samanya penulis ucapkan
banyak terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Supriatna,
dkk Drs. 2008. Fiqh munakahat II. yogyakarta : bidang akademik UIN sunan
kalijaga.
Mukhtar
Kamal. Drs. 1974.Asas-asas hukum islam tentang perkawinan. jakarta: Bulan
bintang.
Marwani
AI. 1975. Hukum Perkawinan Dalam Islam.
Yogyakarta: BPFE.
Al
Hamdani diterjemah Agus Salim. 2002. Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam).
Jakarta: Pustaka Amani.
Subkhi,
Ali as. 2010. Fiqih Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Yunus,Mahmud.
1956. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: Al-hidayah.
Al
Hamdani diterjemah Agus Salim, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta:
Pustaka Amani, 2002), hlm. 299.
Ashab
adalah baju dari Yaman di dalamnya terdapat putih dan hitam.
Ali
As Subkhi, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm. 351.
Mahmud
Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: ………, 1956), hlm.143.
Kamal
Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), hlm. 231.
Al
Hamdani, ibid, hlm. 303.
Kamal
Mukhtar, ibid,.
Al-Hamdani,
ibid, hlm. 301.
Marwani
AI, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1975), hlm. 29
Dr.
Kamal Muchtar, ibid., hlm 230.
Drs. Supriatna, Fiqh Munakahat II, cet I
(Yogyakarta, UIN Suka , 2008), hlm 71.
Drs.
Kamal Mukhtar, ibid., hlm. 238.
Kamal
mukhtar, Ibid, hlm. 238.
Drs
Supriatna Dkk, ibid.,, hlm 71.
Ibid,.
hlm.76.
No comments:
Post a Comment