POSTING : JUNETFHOTO.BLOGSPOT.COM
MAKALAH
AGAMA ISLAM
SISTEM PERBANKKAN DAN ASURANSI DALAM ISLAM
Disusun oleh:KELOMPOK 5
MUH.KHAIRURRIJAL
RIGASA
NUR
YAZIN AL-AZHAR
NURDIANA
NURISLAH
PUTRI
NURUL
HIKMAH
MANSUR
SMA NEGERI 14 SINJAI BARAT
TP.2017/2018
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah
SWT. atas rahmat dan taufiknya kami di beri kenikmatan berupa kesehatan
sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurah kepada nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya,
Amin
Makalah ini di susun sebagai salah satu tugas Pelajaran Agama Islam,
dengan judul “Sistem Perbankkan dan Asuransi dalam Islam”.
Dalam menyusun makalah ini, tentunya tidak mungkin terlaksana apabila
tanpa dukungan serta bimbingan dari pihak-pihak terkait, oleh karena itu,
pertama kami ucapkan terima kasih kepada Guru Agama Islam. Kedua kepada kedua
orang tua kami atas do’a dan dukungan moril maupun materil yang telah di
berikannya. Ketiga kami ucapkan kepada teman kelompok 5 Yang telah membantu
kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktu yang telah di
harapkan, dan kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua, amin…..
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Sinjai, 30 September
2017
Kelompok 5
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………iii-iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………… 1
1.1.
Latar Belakang …………………………………………………………….…… 1
1.2.
Rumusan Masalah ……………………………………………………………… 1
1.3 Tujuan
Penulisan ………………………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………..… 2
1. RIBA
A. Pengertian Riba. ……………………………………………………………………3
B. Dasar hukum Riba. …………………………………………………………………3
C. Macam-macam Riba. ………………………………………………………….……5
D. Hikmah dilarangnya
Riba. …………………………………………………….……7
2. BANK
A. Pengertian Bank. ……………………………………………………………………8
B. Dasar Hukum Bank. …………………………………………………………..……9
C. Jenis- Jenis Bank.
……………………………………………………………..……10
D. Perbedaan Bank non
islam (konvensional) dengan Bank islam…………...10
3. ASURANSI
1. Pengertian
Asuransi. ……………………………………………………..………12
2. Dasar Hukum
Asuransi. ……………………………………………………..……13
3.Tujuan
Asuransi…………………………………………………………………..…14
11. Jenis-Jenis
Asuransi. …………………………………………………….………14
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………..……..17
A.
Kesimpulan…………………………………………………………………..…….17
B.
Saran………………………………………………………………………………17
DAFTAR PUSTAKA. …………………………………………………………………..….18
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pada dasarnya pengertian
mengenai riba, bank dan asuransi sudah sangat familiar di mata masyarakat.
Namun sebagian mereka tidak mengetahui pasti kedudukannya dalam hukum islam.
Seperti halnya riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang
tidak benar dan dibenci Allah swt. Sedangkan Bank menurut jumhur ulama’
merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank
merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nashnya. Dan ketentuan mengenai
asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan
hukumnya. Karena memang ketetuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an
maupun hadits Nabi saw. Termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya.
Oleh sebab itu, agar masyarakat lebih
mengetahui dengan pasti mengenai riba, bank, dan asuransi. Maka kami akan
menguraikan mengenai kedudukan riba , bank dan asuransi.
1.2 Rumusan masalah
1. Pengertian Riba.
2. Dasar hukum Riba.
3. Macam-macam Riba.
4. Hikmah dilarangnya
Riba.
5. Pengertian Bank.
6. Dasar Hukum Bank.
7. Jenis- Jenis Bank.
8. Perbedaan Bank non
islam (konvensional) dengan Bank islam.
9. Pengertian
Asuransi.
10. Dasar Hukum
Asuransi.
11. Jenis-Jenis
Asuransi.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar seseorang dapat memahami pengertian
Riba, Bank, dan Asuransi.
2. Agar dapat mengetahui apakah dalam
transaksi Riba, Bank dan Asuransi, halal atau haram, menurut hukum islam.
3. Mengetahui hikmah dari Riba, Bank dan
Asuransi dalam kehidupan sehari – hari.
BAB
II
PENDAHULUAN
1. RIBA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Riba
Riba yang berasal dari
bahasa arab, artinya tambahan (ziyadah/addition, Inggris), yang berarti:
tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Pendapat Al-Jurjani riba adalah
kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang di syaratkan bagi
salah seorang dari dua orang yang membuat akad.
Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan, riba
adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang meminjam hartanya atau uangnya karena janji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
B. Dasar hukum riba
Dasar hukum Hukum melakukan
riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama. Keharaman
riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat komersial. Di
dalam melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan atau bunga tinggi
melebihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak
tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi
pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut
Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
. . . إِنَمَا
الْبَيْعُ مِثْلَ الرِّبَوا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا
“...Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S.
Al-Baqarah: 275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَوا
وَيُرْبِى الصَّدَقَتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ{276}
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan
selalu berbuat dosa. ”
b. Sunnah Rasulullah saw.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَ
الرِّبَاوَمَوْ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءُ)متفق عليه)
. . . {275}
“Dari Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw.
telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya
(orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya,
(dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.” (H.R. Muslim
إِحْتَنِبُوْا السَّبْعَ
الْمُوبِقَاتِ: قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ: الشِّرْكَ
بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ اِلاَّ
بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ وَقَدْفُ
الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ)متفق عليه)
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para
sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah saw.
bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah
kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim,
melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman,
dan lupa (lupa dari maksiat).” (H.R. Bukhari dan Muslim(
c. Ijma’ para ulama
Para ulama sepakat bahwa
seluruh umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba adalah salah satu usaha
mencari rizki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah SWT. Praktik riba
lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba
akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan.
Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin,
serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu
Islam mengharamkan riba.
C. Macam-macam Riba
Para ulama fiqih membagi riba menjadi empat
macam, yaitu:
a. Riba Fadl
Riba fadl adalah tukar
menukar atau jual beli antara dua buah barang yang sama jenisnya, namun tidak sama
ukuranya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya, atau jual beli yang
mengandung unsur riba pada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada
salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan
emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang
yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebut riba fadl. Supaya
tukar-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka harus ada tiga syarat
yaitu:
a. Barang yang ditukarkan tersebut harus
sama.
b. Timbangan atau takarannya harus sama.
c. Serah terima pada saat itu juga.
b. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah yaitu
tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun yang tidak sejenis atau jual beli
yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang
dilambatkan. Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan
terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda
dibanding untung pada benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis
atau selain yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah
menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan
pembayaran diakhirkan, seperti menjual 1 kg beras dengan 1 ½ kg beras yang
dibayarkan setelah dua bulan kemudian. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan
inilah yang disebut riba nasi’ah.
عَنْ سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى
عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari Samurah bin Jundub, sesungguhnya Nabi
saw telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan” (H.R Lima
ahli hadist)
c. Riba Qardi
Riba qardi adalah
meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang
meminjam. Misalnya Ali meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp.10.000, kemudian
Abbas mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000.
inilah yang disebut riba qardi.
d. Riba yad
Riba yad yaitu berpisah dari
tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang membeli suatu
barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli
tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini
dinamakan riba yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli
yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang
yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara
gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut ulama Syafi’iyah
bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang
yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang,
sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu
pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Dasar hadits yang mengungkapkan
ketertolakan sistem ini adalah:
إِنَّمَا الرِّبَا فِى
النَّسِيْئَةِ)رواه البحارى و مسلم )
“ Tidak ada riba kecuali pada riba nasi ”H.R.
Bukhari Muslim
Ada syarat-syarat agar jual beli tidak
menjadi riba, yaitu:
1. Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga
syarat, yaitu:
a. Serupa timbangan dan banyaknya.
b. Tunai.
c. Timbang terima dalam akad (ijab kabul)
sebelum meninggalkan majelis akad.
2. Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada
dua syarat, yaitu:
a. Tunai.
b. Timbang terima dalam akad (ijab kabul)
sebelum meninggalkan majelis akad.
Semua agama Samawi mengharamkan riba. Hal ini
disebabkan karena riba mempunyai bahaya yang sangat berat. Diantaranya adalah:
1. Dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi
dan mengikis habis semangat kerja sama atau saling tolong-menolong, membenci
orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, serta yang mengeksploitasi.
2. Dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental
pemboros yang tidak mau bekerja keras, dan penimbunan harta di salah satu
pihak. Islam menghargai kerja sama sebagai sarana pencarian nafkah.
3. Sifat riba sangat buruk sehingga Islam
menyerukan agar manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik
jika saudaranya membutuhkan harta.
D. Hikmah Dilarangnya Riba
Hikmah diharamkannya riba yaitu:
a. Menghindari tipu daya diantara sesama
manusia.
b. Melindungi harta sesama muslim agar tidak
dimakan dengan batil.
c. Memotifasi orang muslim untuk
menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari
apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan diantara kaum muslimin.
d. Menutup seluruh pintu bagi orang muslim.
e. Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang
menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba adalah orang yang zalim dan akibat
kezaliman adalah kesusahan.
f. Membuka pintu-pintu kebaikan di depan
orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhirat.
g. Rajin mensyukuri nikmat Allah swt dengan
cara memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak menyia-nyiakan nikmat tersebut.
h. Melakukan praktik jual beli dan utang
piutang secara baik menurut Islam.
2. BANK
A. Pengertian Bank
Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang bank,
bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak. Sedangkan menurut Dr. Fuad Moh. Fachruddin, bank adalah suatu
perusahaan yang memperdayagunakan hutang-piutang, baik yang merupakan uangnya
sendiri maupun orang lain. Fungsi bank adalah sebagai berikut:
a) Menyimpan dana masyarakat.
b) Menyalurkan dana masyarakat ke publik.
c) Memperdagangkan utang piutang.
d) Mengatur dan menjaga stabilitas peredaran
uang.
e) Tempat menyimpan hata kekayaan (uang dan
surat berharga) yang terbaik dan aman.
f) Menolong manusia dalam mengatasi kesulitan
ekonomi keuangan.
Tujuan bank diantaranya yaitu :
1) Menolong manusia dalam banyak kesulitan,
(peminjaman uang tunai atau kredit).
2) Meringankan hubungan antara para pedagang
dan penguhasa dengan memperlancar pemindahan uang (money-transfer).
3) Bagi hartawan adalah untuk menjaga
keamanan dan memberi perlindungan dari penjahat dan pencuri dengan menyimpan di
tempat yang aman.
4) Untuk kepentingan dan perkembangan
kepentingan, baik nasional maupun internasional dalam seluruh bidang kehidupan.
B. Dasar Hukum Islam
Karena bank adalah masalah baru dalam
khazanah hukum Islam, maka para ulama masih memperdebatkan keabsahan sebuah
bank. Berikut ini beberapa pandangan mengenai hukum perbankan, yaitu
mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).
a. Kelompok yang mengharamkan
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya
adalah Abu Zahra (guru besar Fakultas Hukum, Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi
(ulama Pakistan), dan Muhammad Abdullah al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat
bahwa hukum bank adalah haram, sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan
hubungan dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat
atau terpaksa.
b. Kelompok yang tidak mengharamkan
Ulama yang ridak mengharamkan di antaranya
adalah Syekh Muhammad Syaltut dan A. Hassan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan
bermuamalah kaum Muslimin dengan bank bukan merupakan perbuatan yang dilarang.
Bunga bank di Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana digambarkan dalam
Q.S. Ali Imran ayat 130.
c. Kelompok yang menganggap syubhat (samar)
Bank merupakan perkara yang belum jelas
kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang
tidak ada nasnya. Hal-hal yang belum ada nas dan masih diragukan ini yang
dimaksud dengan barang syubhat (samar).
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat
sosial yang sangat berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul (maslahah
mursalah), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya
untuk bank pemerintah (nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan
alasan tingkat kerugian pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank
pemerintah.
C. Jenis-jenis Bank
Berdasarkan jenis atau sistem pengelolaannya,
bank dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a) Bank Konvensional (dengan sistem bunga)
Bank dengan sistem bunga (Konvensional) ada
dua jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat.
b) Bank Syariah (Bank dengan prinsip Bagi
Hasil)
Karena belum ada kata sepakat dari para ulama
tetang hukum bank konvensional sementara umat Islam harus mengikuti
perkembangan ekonomi sehingga perlu jalan keluar, maka lahirlah bank syariah
dengan prinsip bagi hasil.
c) Operasional Bank Syariah
Prinsip operasional dan produk syariah dapat
dilihat dari dua sisi, sisi pergerakan dana masyarakat dan sisi penyaluran dana
kepada masyarakat.
D. Perbedaan Bank Konvesional dan Bank Islam
Bank konvensional :
1. Memakai perangkat bunga atau bagi hasil .
2. Profit Oriented.
3. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk
kreditur-kreditur.
4. Creator for money supply.
5. Melakukan investasi yang halal dan haram.
6. Tidak terdapat dewan sejenis Dewan
Pengawas Syari’ah.
Bank islam :
1. Berdasarkan margin keuntungan bagi hasil.
2. Profit dan falah oriented.
3. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk
kemitraan .
4. Users of real founds.
5. Melakukan investasi yang halal saja.
6. Pengerahan dan penyaluran dana harus
sesuai dengan pendapat Dewan Pengawas Syari’ah.
E. Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional
Dan Hukum Mendirikan Bank Islam
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini,
umat islam hampir tidak bisa menghindari dari bermuamalah dengan bank
konvensional yang memakai sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya termasuk
kehidupan agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia.
Perbedaan pendapat tentang hukum bermuamalah
dengan bank konvensional dan hukum bunga bank :
1. Abu Zahrah : bunga bank itu riba nasi’ah,
dilarang oleh islam. Karena itu islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang
memakai sistem bunga kecuali terpaksa.
2. A.Hasan : Bunga bank bukan riba yang
diharamkan karena tidak bersifat ganda sebagaimana dalam surat Ali Imron: 130
3. Majelis Tarjih Muhammaddiyah di sidoarjo
Jawa Timur 1968: Bunga bank termasuk subhat artinya belum jelas halal dan
haramnya. Tapi jika dalam keadaan terpaksa kita di bolehkan bermuamalah dengan
bank konvensional.
Kaidah Fiqih:
“Hajah (keperluan yang mendesak atau penting)
itu menempati ditempat terpaksa, sedangkan keadaan darurot itu menyebabkan
boleh melakukan hal-hal yang dilarang.
C. ASURANSI
Sesuai dengan prinsip Islam yang menghindari bentuk-bentuk
bunga, dalam akad asuransi tidak ada riba di dalamnya. Asuransi merupakan
produk ekonomi Islam yang tergolong baru dalam khazanah hukum Islam. Berbagai
perbedaan pendapat muncul di kalangan umat Islam terkait apakah akad asuransi
ini dibenarkan dalam islam atau tidak
1. Pengertian Asuransi
Istilah asuransi seringkali disamakan dengan
istilah pertanggungan (kafalah). Pengertian tersebut dapat dijumpai dalam
ketentuan Pasal 1 UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasurasian.
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih, pihak penanggung mengingatkan diri pada
tertanggung dengan menerima premiasuransi, untuk memberikan penggantian pada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.
Dari pengertian di atas dapat dikemukakan
bahwa asuransi pada dasarnya adalah pertanggungan dan ikhtiar seseorang dalam
rangka menanggulangi resiko atau akibat-akibat dari terjadinya sebuah peristiwa
yang tidak diinginkan (diharapkan) terjadi, namun terjadi.
Menurut pasal KUPD, asuransi adalah suatu
perjanjian (akad) antara seseorang yang mempertanggungkan sesuatu dengan
seorang penanggung atau asurahor. Menurut perjanjian ini, si penanggung
menerima premi, yakni semacam pembayaran, baik sekaligus maupun berkala dari
orang yang mempertanggungkan itu, dan dia berjanji akan mengganti kerugian yang
mungkin diderita oleh si mempertanggungkan karena kejadian kelak (kemudian
hari) yang sebelumnya tidak dapat ditentukan dan diketahui oleh siapa pun,
seperti kebakaran, kehilangan, dan kerusakan.
2. Dasar Hukum Asuransi
Ketentuan mengenai asuransi masuk dalam
kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Hal ini
terjadi karena memang ketentuan mengenai asuransi, baik di dalam al-qur’an
maupun hadits Nabi saw, termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya.
Untuk mengeluarkan sebuah produk hukum
ijtihad, dapat menggunakan berbagai cara, antara lain menggunakan konsep
maslahah mursalah atau dengan cara kias (metode analgis). Berdasarkan hasil
ijtihad para ulama dengan menggunakan metode ini maka dasar hukum asuransi di
lingkungan ulama muncul beragam atau berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pendapat pertama, mengatakan bahwa
asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan
hukum. Artinya, melakukan akad asuransi tidak dibolehkan. Ulama yang
mengharamkan asuransi ini adalah Abdullah al-Qalqili dan Muhammad Yusuf
al-Qardawi.
2. Pendapat kedua, menyatakan bahwa asuransi
dengan sagala bentuk perwujudannya dapat diterima dalam syariat Islam. Ulama
yang mendukung pendapat ini adalah Abdul Wahab Khallaf dan Mustafa Ahmad Zarqa
(Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Kairo).
3. Pendapat ketiga, mengatakan bahwa asuransi
sosial diperbolehkan, sedangkan asuransi komersial tidak diperdolehkan, kaena
bertentangan dengan syariat Islam. Pendapat ini didukung oleh ulama Abu Zahrah.
4. Pendapat keempat, mengatakan bahwa
asuransi dengan segala bentk perwujudannya dipandang syubhat. Pendapat tersebut
didukun oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir (Indonesia).
Dari berbagai keterangan di atas, dapat
disimpulkan bahwa asuransi dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat
Islam. Artinya, hendaknya berdasarkan asas gotong royong (ta’awun) dan
perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar bersifat tolong-menolong, bukan
untuk mencari laba atau keuntungan dengan jalan yang tidak benar.
Dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia yang
ditulis oleh Vide Wirjono Prodjadikoro, dijelaskan, menurut pasal 246 Wet Boek
Van Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan), bahwa asuransi pada umumnya
adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang
dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang
mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari satu peristiwa yang
belum jelas akan terjadi.
3. Tujuan Asuransi
Tujuan asuransi adalah menawarkan jaminan
perlindungan untuk menghadapi kerugian akibat suatu bencana yang terjadi pada
yang diasuransikan, tanpa ada unsur penambahan kekayaan seseorang.
Cara untuk menanggulangi bahaya yang mungkin
terjadi biasanya dipraktikkan dengan bersama-sama menanggung kerugian itu untuk
tujuan meringankan beban penderita yang diasuransikan. Hal ini berarti bahwa
tujuan dari asuransi lebih dekat dengan arti iuran untuk perlindungan bersama.
4. Jenis Asuransi
Social insurance lebih dianjurkan daripada
bentuk-bentuk asuransi lain yang tidak jelas status hukumnya. Di Indonesia
terdapat dua asuransi, yaitu asuransi sosial dan takaful. Asuransi sosial
adalah asuransi pemerintah yang merupakan tuntunan UU 1945, khususnya pasal
kesejahteraan sosial. Asuransi takaful merupakan lembaga asuransi yang berbasis
Islam. Pembahasan kedua modal asuransi (sosial dan takaful) dirasa lebih cocok
dan diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia.Asuransi sosial memiliki
kekhususan tersendiri, diantaranya:
1) Penyelenggara pertanggungan (asuransi)
adalah pemerintah.
2) Sifat hukum pertanggungan itu adalah wajib
bagi seluruh anggota masyarakat atau sebagai anggota tertentu masyarakat.
Misalnya, bagi para penumpang kendaraan, baik laut, darat maupun udara.
3) Penentuan penggantian kerugian diatur oleh
pemerintah dengan peraturan khusus yang dibuat untuk itu.
4) Tujuan asuransi memberikan suatu jaminan
sosial (social security), bukan untuk mencari keuntungan.
Secara operasional, asuransi yang sesuai
dengan syariah memiliki sistem yang mengandung hal-hal sebagai berikut:
a) Mempunyai akad takafuli (tolong-menolong)
untuk memberikan santunan atau perlindungan atas musibah yang akan datang.
b) Dana yang terkumpul menjadi amanah
pengelola dana. Dana tersebut diinvestasikan sesuai dengan instrumen syariah
seperti mudarabah, wakalah, wad’ah, dan murabahah.
c) Premi memiliki unsur tabaruq atau
mortalita (harapan hidup).
d) Pembebanan biaya operasional ditanggung
pemegang polis, terbatas pada kisaran 30% dari premi sehingga pembentukan pada
nilai tunai cepat terbentuk di tahun pertama yang memiliki nilai 70% dari
premi.
e) Dari rekening tabarru’ (dana kebijakan
seluruh peserta) sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan
tolong-menolong bila terjadi musibah.
f) Mekanisme pertanggungan pada asuransi
syariah adalah sharing of risk di mana apabila terjadi musibah, maka semua
peserta ikut saling menanggung dan membantu.
g) Keuntungan (profit) dibagi antara
perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil (mudarabah), atau dalam
akad tabarru’ dapat berbentuk dengan memberikan hadiah kepada peserta dan upah
(fee) kepada pengelola.
h) Mempunyai misi aqidah, sosial serta
mengangkat perekonomian umat Islam atau misi istiqadi.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mayoritas ulama (jumhur)
sepakat bahwa praktik bunga yang ada di perbankan konvensional adalah sama
dengan riba dan karena itu haram. Walaupun ada sejumlah layanan perbankan yang
tidak mengandung unsur bunga dan karena itu halal. Namun demikian, ada sejumlah
ulama yang menganggap bahwa bunga bank bukanlah riba dan karena itu halal
hukumnya.
Bagi seorang muslim yang taat dan berada
dalam kondisi yang ideal dan berada dalam posisi yang dapat memilih, tentunya
akan lebih baik kalau berusaha menjauhi praktik bank konvensional yang
diharamkan. Namun, apabila terpaksa, Anda dapat memanfaatkan segala layanan
bank konvensional karena ada sebagian ulama yang menghalalkannya.
B. Saran
Dalam menjalankan kegiatan pondok ramadhan
sangatlah banyak hal yang diperoleh oleh siswa. Dan berikut ini beberapa saran
sebagai langkah perbaikan :
1. Persiapan kualitas kegiatan pondok
Ramadhan supaya lebih di tingkatkan.
2. Untuk suksesnya pelaksanaan/kegiatan
pondok ramadhan, kami menyarankan kepada teman/adik kelas supaya
bersungguh-sungguh dalam menjalankan kegiatan tersebut dan dapat menerapkan
ilmu yang di terima di sekolah.
DAFTAR
PUSTAKA
• Zuhdi, Prof. Drs H. Masjfuk. MASAIL FIQHIYAH,
PT Toko Gunung Agung, Jakarta: 1997, Hal.102.
• Rokhman, M.Ag Roli Abdul. Fiqih 2 MA. Jawa
Timur: PT Wahana Dinamika. 1999
• Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Islam.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.1999
• Mujtaba, Saifuddin. AL – MASAILUL FIQHIYAH.
Rausyan fikr. Jombang: 2007, Hal.345
No comments:
Post a Comment