MAKALAH
MUDHARABAH
DI SUSUN OLEH KELOMPOK 5
SALSADILA A. KHAERUNNISA
RIDWAN
SARTIKA
MUH. TEGAR PRATAMA
SMA NEGERI
14 SINJAI TP.2018
Kata Pengantar
Tiada kata yang teridah selain
mengucapkan rasa syukur Alhamdulillah kehadirat Allah swt, berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya, adapun tema makalah kami berjudul “:Mudharabah”.
Shalawat serta salam senantiasa tetap
tercurahkan kepada baginda Rasulullah saw, seorang Nabi yang telah memperjuangkan
panji-panji kemenangan Islam yang telah membawa perubahan secara signifikan,
yaitu membawa kita dari zaman Jahiliyyah menuju zaman yang penuh dengan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
terimakasih banyak kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu, yang juga telah memberikan bantuannya kepada kami.
Akhirnya, penulis barharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca dan terutama pada penulis
sendiri. Kritik dan saran dari semua pihak akan sangat berharga demi
kesempurnaan makalah ini.
Sinjai 10
Oktober 2018
Kelompok 5
DAFTAR ISI
Halaman
Judul……………………………………………………………………………………………………..……….….i
Kata Pengantar…….……………………………………………………….………………………….………………..……ii
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………………………….…………..iii
BAB I : Pendahuluan
A. Latar Belakang.……..……………………………………….………………………………………………….1
B.
Rumusan Masalah…………………..…………………….…………………………………….……………....1
C.
Tujuan Penulisan…………………………………………………………………………………………………2
BAB II : Pembahasan
a.
Pengertian Mudharabah………………………………………………………………………………………..3
b.
Landasan Syariah…………………………………………………………………………………………………..3
c.
Rukun Mudharabah……………………………………………………………………………………..…..……4
d.
Syarat Mudharabah……………………………………………………………………………………..……….5
e.
Macam Mudharabah……………………..……………………………………………………………………...6
f.
Hukum Mudharabah……………………………………………………………………………………….……..6
g.
Batas Kewenangan Mudharib…………………………………………………………………………………7
h.
Mudharabah Pararel…………………………………………………………………………….……….……….8
i.
Hak Mudharib………………………………………………………………………………………….……..………9
j.
Hal Yang membatalkan Akad Mudharibah……………………………………………………..……..10
BAB III : Penutup…………………………………………………………………………………………………..…….13
Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………….………14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akad Mudharabah adalah akad antara
pemilik modal dengan pengelola modal,dengan ketentuan bahwa keuntungan
diperoleh dua belah pihak sesuai dengankesepakatan. Didalam pembiayaan
mudharabah pemilik dana (Shahibul Maal)membiayai sepenuhnya suatu usaha
tertentu. Sedangkan nasabah bertindak sebagai pengelola usaha (Mudharib). Pada prinsipnya akad mudharabah
diperbolehkandalam agama Islam, karena untuk salingmembantu antara pemilik
modal dengan seorang yang pakar dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam
banyak pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola uangnya.
Sementara banyak pula para pakar dalam perdagangan yang tidak memiliki modal
untuk berdagang. Oleh karena itu, atas
dasar saling tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk saling berkerja
sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil dalam mengelola dan
memproduktifkan modal itu. Akad mudharabah berbeda dengan akad pembiayaan yang
ada pada perbankan pada umumnya (perbankan konvensional). Perbankan
konvensional pada umumya menawarkan pembiayaan dengan menentukan suku bunga
tertentu dan pengembalian modalyang telah digunakan mudharib dalam jangka waktu
tertentu. Namun Akad mudharabah tidak
menentukan suku bunga tertentu pada mudharib yang menggunakan pembiayaan
mudharabah, melainkan mewajibkan mudharibmemberikan bagi hasil dari keuntungan
yang diperoleh mudharib. Pembiayaan mudharabah pada dasarnya diperuntukan untuk
jenis usaha tertentu atau bisnis tertentu. Oleh karena itu, kami sebagai
pemakalah akan mencoba membahas tentang mudharabah ini serta permasalahan yang
ada didalamnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari mudharabah?
2. Apa landasan syariah dari mudharabah?
3. Sebutkan rukun, macam dan syarat
mudharabah?
4. Apa hak dan batas kewenangan mudharib?
5. Apa yang dimaksud mudharah paralel?
5. Apa hak yang membatalkan akad
mudharabah?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami dan mengetahui mudharabah
beserta hukum, rukun, macam, serta syaratnya.
2. Memahami dan mengetahui mudharabah
paralel.
3. Memahami dan mengetahui batas
kewenangan mudharib.
4. Memahami dan mengetahui hak yang
membatalkan akad mudharabah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mudharabah berasal dari kata dharb,
artinya memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih
tepatnya adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Mudharabah merupakan bahasa penduduk Iraq, sedangkan menurut bahasa penduduk
Hijaz disebut dengan istilah disebut dengan istilah qiradh.
Secara terminologis adalah akad kerjasama
usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana
(shahibul maal) yang menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya
sebagai pengelola usaha (mudharib).
Keuntungan usaha yang didapatkan dari
akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, dan
biasanya dalam bentuk nisbah (persentase). Jika usaha yang dijalankan mengalami
kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh shahibul mal sepanjang kerugian itu
bukan akibat kelalaian mudharib. Sedangkan mudharib menanggung kerugian atas
upaya, jerih payah dan waktu yang telah dilakukan untuk menjalankan usaha.
Namun jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib
harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut [1].
B.
Landasan syariah
1.
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ
أَدْنَىٰ مِن ثُلُثَىِ ٱلَّيْلِ وَنِصْفَهُۥ وَثُلُثَهُۥ وَطَآئِفَةٌ مِّنَ
ٱلَّذِينَ مَعَكَ ۚ وَٱللَّهُ يُقَدِّرُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ۚ عَلِمَ أَن لَّن
تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۖ فَٱقْرَءُوا۟ مَا تَيَسَّرَ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ ۚ
عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ ۙ وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ
يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ ۙ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ
ۖ فَٱقْرَءُوا۟ مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ۚ وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟
ٱلزَّكَوٰةَ وَأَقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟
لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ
أَجْرًا ۚ وَٱسْتَغْفِرُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌۢ
Sesungguhnya Tuhanmu
mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam,
atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang.
Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa
yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu
orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan
Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman
yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu
memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang
paling besar pahalanya…. (QS: Al-Muzzammil Ayat: 20)
2. Hadis riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas
“Abbas bin Abdul
Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada
mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak
membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menaggung
risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abba situ didengar Rasulullah,
beliau membenarkannya”.
3. Hadis riwayat Ibnu Majah
“Nabi bersabda, ada
tiada hal yang mengandung berkah; jual beli tidak secara tunai, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur dandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga
bukan dijual”.
4. Kesepakatan ulama akan bolehnya
Mudharabah dikutip dari Dr. Wahbah Zuhaily dari kitab al-Fiqh al-Islamy Wa
Adillatuh.
5. Qiyas merupakan dalil lain yang
membolehkan Mudharabah dengan mengqiyaskannya (analogi) kepada transaksi
Musaqat, yaitu bagi hasil yang umum dilakukan dalam bidang perkebunan.
C. Rukun Mudharabah
1. Shahibul maal (pemilik dana)
2. Mudharib (pengelola)
3. Sighat (ijab qabul)
4. Ra’sul maal (modal)
5. Pekerjaan
6. Keuntungan
D. Syarat Mudharabah:
1. Shahibul maal dan mudharib
· Harus mampu bertindak layaknya sebagai
majikan dan wakil
2. Sighat atau ijab dan qabul
· Harus diucapkan oleh kedua pihak untuk
menunjukkan kemauan mereka
· Terdapat kejelasan tujuan dalam
melakukan sebuah kontrak
3. Modal
Adalah jumah uang
yang diberikan shahibul maal kepada mudharib untuk tujuan investasi dalam akad
mudharabah.
· Diketahui jumlah dan jenisnya (mata
uang)
· Disetor tunai kepada mudharib
4. Keuntungan
Adalah jumlah yang
didapat sebagai kelebihan dari modal.
· Kadar keuntungan harus diketahui,
berapa jumlah yang dihasilkan
· Keuntungan dibagi secara proporsinal
kepada kedua pihak
· Proporsi (nisbah) keduanya sudah
dijelaskan saat melakukan kontrak
5. Pekerjaan/usaha perniagaan
Adalah kontribusi
mudharib dalam kontrak mudharabah yang disediakan sebagai pengganti untuk modal
yang disediakan oleh shahibul maal.
· Usaha perniagaan adalah hak eksklusif
mudharib tanpa adanya intervensi dari pihak shahibul maal
· Pemilik dana tidak boleh membatasi
tindakan dan usaha mudharib
· Mudharib tidak boleh menyalahi
menyalahi aturan syariah dalam usaha perniagaannya
· Mudharib harus mematuhi syarat-syarat
yang ditentukan shahibul maal[2].
E. Macam Mudharabah
1. Mudharabah muthlaqah
Adalah akad kerjasama
dimana mudharib diberikan kekuasaan penuh untuk mengelola modal usaha. Mudharib
(pengelola) tidak dibatasi dengan tempat usaha, tujuan maupun jenis usaha.
2. Mudharabah muqayyadah
Adalah akad kerjasama
dimana shahibul maal (pemilik dana) menetapkan syarat tertentu yang harus
dipatuhi mudharib(pengelola), baik mengenai tempat usaha, tujuan maupun jenis
usaha[3].
F. Hukum Mudharabah
Mudharabah akan
dikatakan fasid jika terdapat salah satu syarat yang tidak terpenuhi. Jika
semua syarat terpenuhi, maka akad mudharabah dikatakan shahih. Dalam konteks
ini, mudharib diposisikan sebagai orang yang menerima titipan asset shahibul
mal. Ketika mudharib melakukan pembelian, ia layaknya sebagai wakil dari
shahibul mal, ia melakukan transaksi atas asset orang lain dengan mendapatkan
izin darinya. Ketika mudharib mendapatkan keuntungan atas transaksi yang
dilakukan, ia berhak mendapatkan bagian dari keuntungan yang dihasilkan, dan
bagian lainnya milik shahibul mal. Jika mudharib mealnggar syarat yang
ditetapkan shahibul mal, maka ia diposisikan sebagai orang mengghosob (menggunakan harta orang tanpa
izin) dan memiliki tanggung jawab penuh atas harta tersebut.
Jika terjadi kerugian atas asset,
maka ia tidak diharuskan untuk menanggung kerugian, karena ia diposisikan
sebagai pengganti shahibul mal dalam menjalankan bisnis, sepanjang tidak
disebabkan karena kelalaian. Jika terjadi kerugian, maka akan dibebankan kepada
shahibul mal, atau dikurangkan dari keuntungan, jika terdapat keuntungan
bisnis.
Jaminan dalam kontrak
mudharabah merujuk pada tanggung jawab mudharib untuk mengembalikan modal
kepada pemilik dana dalamsemua keadaan. Hal ini tidak dibolehkan, karena adanya
fakta bahwa pegangan mudharib akan dana itu sifatnya amanah, dan orang yang
diamanahkan tidak berkewajiban menjamin dana itukecuali menlanggar batas ataumenyalahi
keuntungan.
Jika shahibul mal mensyaratkan
kepada mudharib untuk menjamin penggantian modal ketika terjadi kerugian, maka
syarat itu merupakan syarat batil dan akad tetap sah adanya, ini menurut
pendapat Hanafiyah. Menurut Syafiiyyah dan Malikiyyah, akad mudharabah menjadi
fasid (rusak), karena syarat tersebut bersifat kontradiktif dengan karakter
dasar akad mudharabah[4].
G. BATAS KEWENANGAN MUDHARIB
Jika akad mudharabah
berupa mudharabah muthlaqah, maka mudharib memiliki kewenangan penuh untuk
menjalankan bisnis apa saja, dimana, kapan, dan dengan siapa saja. Karena
maksud dari mudharabah adalah mendapatkan keuntungan, dan tidak akan didapatkan
dengan melakukan transaksi bisnis. Mudharib diperbolehkan menitipkan aset
mudharabah kepada pihak lain (bank, misalnya), karena hal ini merupakan suatu
hal yang bisa dihindari. Ia juga memiliki hak untuk merekrut karyawan guna
menjalankan bisnis, seperti halnya sewa gedung, alat transportasi dan lainnya
yang mendukung operasional bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Namun demikian
ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan mudharib.
Ia tidak boleh
melakukan withdraw (berhutang) atas aset mudharabah tanpa izin dari shahibul
mal, karena hal itu akan menambah tanggungan shahibul mal. Jika shahibul mal
membolehkan, maka penarikan itu menjadi hutang pribadi mudharib yang harus
dibayar. Ulama malikiyah berpendapat bahwa mudharib tidak boleh membeli barang
dengan utang, sekalipun pemilik modal mengizinkannya. Jika mudharib
melakukannya, maka dia menanggung resiko apa yang dibelinya, keuntungannya
dimiliki sendiri dan pemilik modal tidak berhak mendapat apapun darinya. Hal
itu karena Nabi Muhammad saw melarang mengambil keuntungan yang tidak
dijaminnya. Maka bagaimana mungkin pemilik modal mengambil keuntungan dari
sesuatu yang menjadi tanggungan amil?
Mudharib juga tidak
membeli aset dengan cara berhutang, walaupun mendapatkan izin dari shahibul
mal. Jika mudharib tetap melakukannya, maka ia harus menanggung beban hutang
itu. Namun, jika terdapat keuntungan akan menjadi miliki penuh mudharib. Shabul
mal tidak berhak apapun, karena ia tidak ikut menanggung resiko. Mudharib tidak
diperbolehkan menginvestasikan aset mudharbah kepada orang lain dengan akad
mudharabah, melakukan akad syirkah, dicampur dengan harta pribadi atau harta
orang lain, kecuali mendapatkan kebebasan penuh dari shahibul mal. Dengan
adanya transaksi ini , maka akan terdapat hak orang lain atas aset shahibul
mal, sehingga tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan kesepakatan dari shahibul
mal[5].
H. MUDHARABAH PARALEL
Menurut Hanafiyah,
mudharib tidak diperbolehkan menyerahkan aset mudharabah kepada orang lain
tanpa mendapatkan kesepaktan shahibul mal, baik hanya sebagai titipan atau
diberdayakan oleh pihak ketiga (mudharib kedua). Jika aset yang diterima
mudharib kedua hanya sebagai titipan, maka mudharib pertama tidak berkewajiban
menanggung risiko yang ada, karena hanya diposisikan sebagai wadi’ah. Namun,
jika mudharib pertama menyerahkan aset mudharabah kepada mudharib kedua dengan
maksud investasi, maka mudharib pertama memiliki tanggung jawab penuh terhadap
shahibul mal. Menurut Zafar, mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas aset
mudharabah, baik hanya sebagai titpan atau investasi, seperti halnya ketika
kita menitipkan titipan kita kepada orang lain.
Menurut imam
shahiban, jika penyerahan aset itu dimaksudkan untuk investasi, dan digunakan
mudharib kedua untuk menjalankan bisnis, maka mudharib pertama bertanggung
jawab penuh atas aset mudharabah. Dengan alasan, mudharib kedua menggunakan
aset tanpa izin pemiliknya. Jika mudharib kedua menggunakan aset tersebut,
shahibul mal memiliki dua opsi, tanggung jawab risiko aset itu dibebankan
kepada mudharib pertama atau kedua. Menurut, pendapat yang shahih dari
Hanafiyah, mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas risiko aset yang
diberikan mudharib kedua untuk menjalankan bisnis.
Jika terdapat
keuntungan dalam mudharabah paralel ini, akan dibagi sesuai kesepakatan
mudharabah pertama (antara shahibul mal dan mudharib pertama). Bagian
keuntungan mudharib pertama, akan dibagi dengan mudharib kedua sesuai
kesepakatan dalam akad mudharabah kedua. Ulama 4 mazhab sepakat bahwa risiko
mudharabah paralel ditanggung oleh mudharib pertama[6].
I. HAK MUDHARIB
Mudharib memiliki beberapa
hak dalam akad mudharabah, yakni nafkah (living cost, biaya hidup) dan
keuntungan yang disepakti dalam akad. Ulama berbeda pendapat tentang hak
mudharib atas aset mudharabah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik ketika
dirumah atau dalam perjalanan. Menurut, imam syafi’i, mudharib tidak berhak
mendapatkan nafkah atas kebutuhan pribadinya dari aset mudharabah, baik dirumah
atau dala perjalanan. Karena, mudharib kelak akan mendapatkan bagian
keuntungan, dan ia tidak berhak mendapatkan manfaat lain dari akad mudharabah.
Nafkah ini bisa jadi nominalnya dengan bagian keuntungan, dan mudharib akan
mendapatkan lebih. Jika nafkah ini disyaratkan dalam kontrak, maka akad
mudharabah fasid hukumnya.
Menurut abu hanifah
dan imam malik, mudharib hanya berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah
ketika ia melakukan perjalanan, baik biaya transportasi, makan ataupun pakaian.
Madzhab hanabalah memberikan keleluasan, mudharib berhak mendapatkan nafkah
pribadi, baik dirumah atau dalam perjalanan, dan boleh menjadikan syarat dalam
akad.
Menurut Hanafiyah,
mudharib berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah untuk memenuhi kegiatan
bisnis yang meliputi: makan minum, lauk pauk, pakaian, gaji karyawan, sewa
rumah, listrik, telepon, transportasi, upah, cuci pakaian, begitu juga dengan
biaya dokter. Semuanya ini diperlukan demi kelancaran bisnis yang dijalankan.
Kadar nafkah ini harus disesuaikan dengan yang berlaku dikhalayak umum.
Biaya yang
dikeluarkan oleh mudharib (dalam menjalankan bisnis) akan dikurangkan dari keuntungan,
namun jika ada keuntungan, akan dikurangkan dari aset shahibul mal, dan
dihitung sebagai kerugian. Jika mudharib melakukan perjalanan bisnis dan
menetap selama 15 hari, maka biaya perjalanan bisnis ini diambil dari aset
mudharabah. Ketika ia kembali, jika terdapat sisa biaya perjalanan, harus
dikembalikan sebagai aset mudharabah. Jika mudharib menggunakan biaya pribadi
maka akan menjadi hutang dan akan dikurangkan dari aset mudharabah.
Selain itu, mudharib
juga berhak mendapatkan keuntungan, namun jika bisnis yang dijalankan tidak
mendapatkan keuntungan, mudharib tidak berhak mendapatkan apa pun. Keuntungan
akan dibagikan, setelah mudharib menyerahkan aset yang diserahkan shahibul mal
(ra’sul mal) secara utuh, jika masih terdapat kelebihan sebagai keuntungan akan
dibagi sesuai kesepakatan.
Menurut Hanafiyah,
Malikiyah dan Syafiiyah, mudharib berhak mendapatkan bagian atas hasil bisnis,
tanpa harus dihitung dari keuntungan (revenue sharing). Akan tetapi, mayoritas
ulama sepakat, mudharib harus mengembalikan pokok harta shahibul mal, dan ia
tidak berhak mendapatkan bagian sebelumnya menyerahkan modal shahibul mal. Jika
masih terdapat keuntungan, akan dibagi sesuai kesepakatan (profit sharing).
J. HAL YANG MEMBATALKAN AKAD MUDHARABAH
a) Fasakh (pembatalan) dan larangan usaha
atau pemecatan
Mudharabah batal
dengan adanya fasakh dan dengan larangan usaha atau pemecatan, jika terdapat
syarat fasakh dan larangan tersebut yaitu, mudharib mengetahui dengan adanya
fasakh dengan larangan tersebut serta modal dalam keadaan berbentuk uang dengan
pada waktu fasakh dengan larangan tersebut. Hal itu agar jelas apakah terdapat
keuntungan bersama antara mudharib dan pemilik modal. Jika modal tersebut masih
berbentuk barang, maka pemecatannya tidak sah. Hal ini mengakibatkan bahwa jika
mudharib tidak mengetahui dengan adanya fasakh atau larangan usaha tersebut,
maka usahanya diperbolehkan. Jika mudharib telah mengetahui perihal
pemecatannya sedangkan modalnya masih dalam bentuk barang, maka dia boleh menjualnya
untuk mengubah modal menjadi uang agar keuntngannya terlihat. Dalam hal ini,
pemilik modal tidak mempunyai hak melarangnya dalam penjualan barang tersebut
karena hal itu bisa menghilangkan hak mudharib.
b) Kematian salah satu pelaku akad
Jika pemilik modal
atau mudharib meninggal, maka akad mudharabah menjadi batal menurut mayoritas
ulama, mudharabah batal baik mudharib mengetahui perihal meninggalnya pemiliki
modal maupun tidak, karena kematian mengeluarkan mudharib dari mudharabah
secara hukum, maka tidak bergantung pada pengetahuannya.
c) Salah satu pelaku akad menjadi gila
Mudharabah batal
menurut ulama selain syafi’iyah dengan gilanya salah satu pelaku akad, jika
gilanya itu gila permanen, karena gila membatalkan sifat ahliyah (kelayakan/kemampuan).
Adapun pelarangan membelanjakan harta bagi mudharib karena bodoh atau idiot,
maka menurut ulama Hanafiyah mudharib tidak keluar dari mudharabah, karena
dalam keadaan itu dianggap seperti anak kecil yang belum balig (mumayyiz).
Menurut mereka, anak yang mumayyiz memiliki sifat ahliyah (kelayakan/kemampuan)
untuk menjadi wakil dari orang lain, maka dengan demikian juga dengan orang
yang bodoh.
d) Murtadnya pemilik modal
Jika pemilik modal
murtad dari agama islam lalu mati atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau ia
masuk ke negeri musuh dan hakim telah mengeluarkan keputusan tentang perihal
masuknya ke negeri musuh tersebut, maka mudharabahnya batal semenjak hari
murtadnya menurut ulama Hanafiyah. Hal itu karena masuk ke negeri musuh sama
kedudukannya dengan kematian, dan itu menghilangkan sifat ahliah
(kemapuan/kelayakan) Pemilik modal, dengan dalil bahwa orang yang murtad itu
hartanya boleh dibagikan kepada para ahli warisnya.
e) Rusaknya modal mudharabah ditangan
mudharib
Jika modal rusak
ditangan mudharib sebelum dibelanjakan sesuatu, maka mudharabahnya batal.
Pasalnya, modal menjadi spesifik untuk mudharabah dengan adanya penerimaan
barang, sehingga akadnya batal dengan rusaknya modal. Demikian juga akad
mudharabah batal dengan digunakannya modalnya oleh mudharib, dinafkahkan atau
diberikan pada orang lain kemudian digunakan oleh orang tersebut, hingga
mudharib tidak memiliki hak untuk membeli sesuatu untuk mudharabah. Jika
mudharib mengganti modal yang digunakannya, maka dia dapat membelanjakan
kemabali modal tersebut untuk mudhrabah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mudharabah berasal
dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau
berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam
menjalankan usaha. Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha
antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%)
modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan
apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat
kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut. Rukun-rukun mudharabah yaitu pemilik modal (shahibul mal),
pengelola(mudharib); objek yang diakadkan (modal, jenis usaha, keuntungan), dan
shigat (akad). Hukum mudharabah berbeda-beda, karena adanya perbedaan-perbedaan
keadaan, maka kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah (qiradh)
juga tergantung kepada keadaan. Karena pengelola modal perdagangan mengelola
modal tersebut atas izin pemilik harta, maka pengelola modal adalah wakil dari
pemilik barang tersebut dalam pengelolaannya.
Jika pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi
fasakh(batal), bila mudharabah telah fasakh, maka pengelola modal tidak
berhakmengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak menggunakan
modaltersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal
dantanpa izin para ahli waris, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai
ghasab.
DAFTAR PUSTAKA
Az-zuhaili, wahbah,
2011, Fiqih islam wa adillatuh. Jakarta. Gema insane.
Djuwaini, dimyauddin,
2010, Pengantar fiqih muamalah. Yogyakarta. Pustaka belajar.
Mas’adi, Gufron A.
2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta. Rajawali Pers. Muhammad Ruswan Qal’ah Gie, 1999, Al
Muamalat al-Maaliyah al-Mu’ashirah fi Dlaui al Fiqh wa asy-Syariah. Daar an
Nafais. Beirut.
No comments:
Post a Comment