MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
AL
- HADIST
DI
SUSUN OLEH :
VENI
PUTRI AYU
TRI
ERNITA
SUKAENA.
S
ALINI
WARSIL
SYAM
ASWIN
DICKI
WAHYUDI
SMA NEGERI 14 SINJAI BARAT
TP.2017/2018
KATA PENGANTAR
Dengan ucapan puji dan
syukur kepada ALLAH SWT yang telah
memberikan segala kesempatan dan kemudahan sehingga makalah ini dapat
terselesaikan walaupun masih banyak kekurangan dari berbagai segi. Shalawat dan
salam kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah merubah budaya adat dan tingkah laku yang konservatif
dan tercela kedunia yang penuh norma toleran, mulia dan modern.
Dalam makalah ini penulis akan membahas
tentang “ Ikhtilaf Al- Hadts”.
Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi penulisan maupun
kutipan, untuk itu segala kritikan dan saran yang bersifat membangun akan
penulis terima dengan senang hati.
Wassalam,
Sinjai barat, 30 september 2017
baca juga : https://junetfhoto.blogspot.com/2019/01/makalah-proses-tektonisme-dan_26.html
nonton juga : tutorial Instal laptop tanpa format
https://www.youtube.com/watch?v=k2mV44YWy5o&t=17s
nonton juga : tutorial Instal laptop tanpa format
https://www.youtube.com/watch?v=k2mV44YWy5o&t=17s
Kelompok 2
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
......................................................................................................i
KATA PENGANTAR .................................................................................................
ii
DAFTAR ISI
..............................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
............................................................................................
1
A.
Latar Belakang
Penulis......................................................................................
1
B.
Rumusan
Masalah...........................................................................................
2
C.
Tujuan
..............................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
.............................................................................................
3
A.
Pengertian Ikhtilaf Al- Hadits
............................................................................ 3
B.
Pendekatan ikhtilaf al-hadits
menurut para ulama ......................................... 4
a.
Al- Jam’u wa Al- tawfiq ( Kompromi ) ............................................................
5
b.
Tarjih ( memilih yang terkuat )
........................................................................ 6
c.
Nasikh wa Al- Mansukh ( Membatalkan salah satu dan
Mengamalkan yang lain )
.........................................................................................
8
BAB III PENUTUP
..................................................................................................
10
A.
Kesimpulan
......................................................................................................
10
B.
Saran
..............................................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA
.................................................................................................
11
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadis adalah sumber hukum kedua bagi umat Islam. Kedudukannya merupakan
penjelas bagi al-Quran. Umat Islam tidak bisa menerapkan ajaran dari al-Quran
tanpa petunjuk secara rinci dari hadis. Berbagai ibadah utama dalam Islam
perintahnya ada dalam al-Quran, seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain.
Perintah itu berbentuk umum, sementara hadis datang dengan rincian yang jelas.
Hadis sangat diperlukan untuk dapat mengamalkan ajaran Islam secara sempurna.
Ibadah shalat lima
waktu perintahnya dalam
al-Qur‟an, teknis pelaksanaanya hadis yang menjelaskan. Pengamalan
perintah al-Quran tidak bisa terlepas dari hadis.
Hadis Nabi Muhammad yang sampai pada kita
hari ini banyak jumlahnya. Tidak semuanya hadis Nabi itu dapat kita terima
secara mutlak. Hal ini disebabkan
hadis Nabi tersebut
masih terbagi ke
dalam berbagai bentuk hadis,
seperti hadits mutawatir, sahih, hasan dan dhaif serta maudhu‟. Dalam
penggunaanya hujjah, hanya hadits mutawatir, sahih dan hasan yang bisa
dipedomani. Ke tiga hadis ini adalah maqbul, diterima sebagai hujjah. Tentunya
kita sepakat bahwa hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah adalah hadis yang
termasuk kategori maqbul.
Namun hadis maqbul
tidak dapat diterima begitu saja
karena pada hadis maqbul terdapat persoalan-persoalan yang meragukan
untuk dijadikan sebagai
hujjah dalam menyelesaikan masalah. Persoalannya adalah
terdapatnya pada hadis maqbul riwayat-riwayat yang antara
satu dengan yang lainnya
tampak saling bertentangan artinya menyangkut masalah yang dihadapi
tersebut disatu pihak ditemukan hadis dengan ketentuan hukum yang
membolehkan atau bahkan memerintahkan.
Sedangkan dipihak lain ditemukan pula hadis dengan ketentuan hukum yang melarang.Dalam proses
perkembangan ilmu hadist
mengalami beberapa kemajuan
dalam tingkat kualitasnya, hal ini didukung karena adanya perkembangan
pemikiran yang lahir dari para pemikir-pemikir modern yang berkecimpung dalam
dunia penelitian hadist. Kitab-kitab khusus yang membahas tentang
hadist-hadist, baik dari segi pembagiannnya ataupun ilmu-ilmu yang
mendukung adanya pembukuan
hadist. Dan juga
dalam perkembangannya hadist juga membutuhkan berbagai ilmu yang
membahas tentang bagaimana caranya
memahami hadist.
Dalam
hal ini penulis bermaksud menguraikan seputar
masalah ilmu Ikhtilaf Al-Hadist. Hal ini disebabkan banyak diantara
hadist-hadist yang ikhtilaf yang mungkin hanya karena perbedaan pemahaman
terhadap hadist tersebut. Oleh karenanya dalam menyelesaikan berbagai
masalah seputar hadist-hadist
Ikhtilaf dibutuhkan ilmu Ikhtilaf
al hadist. Adanya hadis-hadis mukhtalif
(bertentangan) menyangkut suatu masalah tertentu,
secara praktis, hal
ini dapat menimbulkan
kebingungan dalam mengambil kepastian ajaran (ketentuan hukum) yang
mengatur masalah tersebut, yang manakah di antaranya yang harus diikuti dan
diamalkan. Agar kita tidak terjebak di dalam memahami hadits yang kelihatannya
bertentangan, maka kita perlu membahas suatu kajian hadis yaitu
Ikhtilaf al Hadis dan
penyelesaiannya. Dalam makalah ini dibahas pengertian ikhtilaf al-Hadis, sebab
terjadinya Ikhtilaf al Hadis, dan kaidah penyelesaian ikhtilaf al-Hadis.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis
akan merumuskan dasar masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana maksud dari Ikhtilaf Al-hadits.
2.
Bagaimana penyelesaian Ikhtilaf Al-hadits menurut para ulama.
3.
Metode apa yang dilakukan dalam penyelesaian Ikhtilaf Al-Hadits
4.
Menunda sebelum datangnya pendapat yang lain
C. Tujuan.
1.
Untuk mengetahui maksud dari Ikhtilaf Al-hadits.
2.
Untuk mengetahui penyelesaian
Ikhtilaf Al-hadits menurut para ulama.
3.
Untuk mengetahui metode yang dilakukan dalam penyelesaian Ikhtilaf
Al-Hadits
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Ikhtilaf Al-Hadits
Munculnya ilmu ikhtilaf
al-hadits, para ulama hadits generasi awal telah berbicara banyak tentang
ikhtilaf hadits ini serta telah merumuskan kaidah-kaidah penyelesaiannya. Pada
masa sistematisasi, perumusan dan penulisan, ilmu yang berhubungan dengan
hadits yang mukhtalif ini merupakan bagian dari pembahasan ilmu usul
fikih,’ulum al- hadits. Pada prinsip dasarnya, ikhtilaf terjadi antara dua
hadits dalam kasus yang sama, walaupun dalam kenyataannya ketika dilakukan
pembahasan melibatkan lebih dari dua hadits.[1]
Secara etimologi, kata
Ikhtilaf berasal dari kata
ikhtilafa-yakhtalifu- ikhtilaf, adalah isim fa‟il (kata sifat) yang berarti
berselisih atau bertentangan. Dengan demikian, Ikhtilaf al hadis adalah hadis
yang bertentangan satu sama lain[2]. Menurut para ulama Ikhtilaf al hadis
adalah hadis-hadis yang tampak saling bertentangan satu sama lain.
Mukhtalif artinya yang bertentangan atau yang
berselish. Mukhtalif Al-Hadits adalah hadits yang sampai pada kita namun saling
bertentangan dengan maknanya satu sama lain.Sedangkan definisi menurut istilah
adalah hadits yang diterima namun pada zhahirnya kelihatan bertentangan dengan
hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan
antara keduanya[3].
Beberapa definisi lain ikhtilaf al-Hadis
yaitu:
1.
Menurut Imam Syafi‟i, ikhtilaf al-Hadis adalah dua hadis hadis tidak
bisa dikatakan bertentangan jika ada alasan yang melatarbelakanginya, tetapi
perbedaan bisa terjadi apabila tidak ada alasan yang melatarbelakangi kecuali
dengan menggugurkan salah satu. Contonya; ada dua hadis tentang satu permasalahan,
salah satu hadis
menghalalkannya dan yang
lain mengharamkannya.
2.
Menurut Hakim an-Naisabur, ikhtilaf
al-Hadisi adalah bagian
dari beberapa ilmu untuk
mengetahui hadis-hadis Nabi
yang bertentangan dengan hadis
yang serupa, maka ulama mazhab mengambill salah satunya dari hadis yang sahih
dan yang tidak sahih, pernyataan itu mengandung pertentangan yang hakiki dan
dhahiri juga mencakup hadist yang diterima dan lemah[4].
3.
Menurut al-Nawawy dikutip oleh al-Suyuthy, hadis mukhtalif adalah dua
buah hadis yang
saling bertentangan pada
makna lahiriahnya (namun makna sebenarnya bukanlah bertentangan,
untuk mengetahui makna sebenarnya tersebut) maka keduanya dikompromikan atau
di-Tarjih (untuk mengetahui mana yang kuat di antaranya).
4.
Sebagian ulama hadis memberikan batasan dalam kategori maqbul dalam memberikan defenisi hadis mukhtalif adalah
dua buah hadis (sama-sama dalam kategori) maqbul yang saling bertentangan pada
makna lahiriyahnya (namun sebenarnya bukanlah bertentangan) karena maksud yang
dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan dengan cara yang wajar
(tidak dicari-cari).[5]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
yang demaksud hadis-hadis mukhtalif adalah
hadis sahih atau
hadis hasan yang
secara lahiriah tampak saling
bertentangan hadis sahih atau hadis hasan lainnya. Namun makna yang sebenarnya
atau maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena
satu dengan lainnya sebenarnya dapat dikompromikan atau dicari penyelesaiannya
dalam bentuk naskh atau tarjih.
Jadi
dalam kajian Ikhtilaf al
hadis membahas hadits- hadits yang secara lahiriah saling bertentangan
(kontradiksi), untuk menghilangkan pertentangan itu harus mengkompromikan
keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar difahami atau
diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
B. Pendekatan
ikhtilaf al-hadits menurut para ulama.
Untuk
lebih jelasnya penulis
memberikan penjelasan mengenai penyelesaian hadis-hadis yang
tampak bertentangan (mukhtalif) dari beberapa pendapat ulama dapat dilakukan
melalui beberapa metode yaitu:
a. Al- Jam’u wa Al- tawfiq ( Kompromi ).
Secara bahasa kata Al- jam’u
berarti sesuatu yang mencakup, mengumpulkan, dan menggabungkan. Menurut
terminology ahli hadits jami’ adalah tipe penyusunan kitab-kitap hadits yang
memuat hadits-hadits yang berbagai macam masalah keagamaan seperi akidah,
hukum, perbudakan, tata cara makan dan minum, bepergian dan tinggal dirumah,
tafsir sejarah, perilaku hidup, pekerti baik dan buruk dan sebagainya[6]. Dan Al-tawfiq itu adalah menunggu sampai
ada petunjuk atau
dalil lain yang
dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan. Sedangkan Al-jam‟u
wa al-taufiq adalah kedua
hadits yang tampak
bertentangan dikompromikan atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya.
Yang artinya bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkampromikan antara
keduanya, maka keduanya di kompromikan dan wajib di amalkan[7].
Metode ini dilakukan
dengan cara menggabungkan
dan mengkompromikan dua hadis yang tampak bertentangan, dengan catatan
bahwa dua hadits tersebut sama-sama berkualitas shahih. Metode ini dinilai
lebih baik ketimbang melakukan tarjih (mengunggulkan salah satu dari dua
hadis yang tampak
bertentangan). Dalam salah
satu keadaan fiqh dikatakan bahwa “i’mal al qawl khairun
min ihmaalihi (mengamalkan suatu ucapan atau sabda itu lebih baik dari pada
membiarkannya untuk tidak
diamalkan). Metode al-jam‟u wa
al-taufiq ini tidak
berlaku bagi hadis-hadis dha‟if (lemah) yang
bertentangan dengan hadis-hadis
yang shahih[8].
Dalam pendekatan ini upaya
mengkompromikan hadits mukhtalif secara umum dapat dilakukan dengan penerapan
pola umum dan khusus atau mutlaq dan muqaiyyad. Penerapan pola khusus dapat
pula dilihat kekhususan dari kontek kapan, dimana, dan kepada siapa Nabi
bersabda. Pola yang digagaskan Imam Syafi’I dan para ulama hadits serta ulama
usul ini disimpulakan dalam tiga kemungkinan:
1.
Terkait dengan konteks waktu
2.
Terkait dengan konteks ruang dan tempat
3.
Terkait dengan konteks lawan bicara
[9]
Contoh hadits Al- Jam’u wa Al- tawfiq (
Kompromi ) adalah :
1.Hadits tentang tata cara berwudhuk
Rasulullah Saw.
Hadits ini menyatakan bahwa Rasulullah Saw.
Berwudlu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali,
sebagaimana tampak dalam hadis berikut ini :
Artinya: Rabbi’ telah bercerita kepada kami,
dia berkata: imam Al-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Azizi
ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibnu Aslam dari Atho ibn
Yasar dari ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW berwudhu membasuh wajah dan kedua
tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali. (H.R. Al-Syafi’i)
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa
Nabi Saw berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap
kepala tiga kali, sebagaimana terlihat dalam hadits berikut ini:
Artinya: Imam Al-Syafi’i telah memberi kabar
kepada kami, dia berkata Sufyan ibnu ‘Uyainah telah memberi
kabar kepada kami,
dari Hisyam bin
Urwah dari ayahnya, dari
Hamran maulana ‘Utsman
ibnu ‘Affan bahwa
Nabi Saw berwudhu dengan
mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap). (HR Al-Syafi’i).
Kedua Riwayat tersebut tampak bertentangan
namun keduanya sama-sama sahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al Jam’u
wa Al Taufiq.Menurut imam Syafi‟I dalam kitab Ikhtilaful Hadist menyimpilkan bahawa , hadist-hadist itu tidak
bisa dikatakan sebagai hadist yang benar-benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan
bahwa berwudhu dengan
membasuh wajah
dan kedua tangannya, serta
mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam
berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap
Tangan serta mengusap kepala)[10].
b. Tarjih ( memilih yang terkuat ).
Tarjih sebagaimana dirumuskan oleh para
ulama, dapat diartikan sebagai memperbandingkan
dalil-dalil yang tampak
bertentangan untuk
mengetahui manakah di
antaranya yang kuat
dibanding dengan yang lain[11]. At-tarjih itu meneliti dan menentukan petunjuk hadis
yang memiliki argumen yang lebih kuat.
Yang artinya bila tidak memungkinkan untuk dikompromikan maka :
a. Jika diketahui salah satunya nasikh dan
yang lainnya mansukh, maka kita
dahulukan yang nasikh maka kita amalkan dan kita tinggalkan yang
mansukh.
b. Jika tidak diketahui nasikh dan
mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat diantara keduanya lalu kita
amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah’
c. Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih,
maka tidak boleh diamalkan keduanya
sampai jelas dalil yang lebih kuat[12].
Contoh hadits Tarjih ( Memilih yang Terkuat )
yaitu :
Harus diakui bahwa ada beberapa matan Hadits yang saling bertentangan.
Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan Al-Quran.
1.
Hadits tentang nasib bayi
perempuan yang dikubur hidup- hidup akan berada di neraka. Sebagai
contoh adalah Hadits berkut ini:
Artinya: Perempuan yang mengubur bayi
hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR Abu Dawud)
Hadist tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas‟ud dan
Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadist tersebut (Sabab Wurudnya) adalah bahwa
Salamah Ibn Yazid
al Ju‟fi pergi bersama
saudaranya menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “wahai Rasul
sesungguhnya saya percaya
Malikah itu dulu
orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan
tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan
Jahiliyah. Apakah amal
kebaikannya itu bermanfaat
baginya? Nabi menjawab :
tidak. Kami berkata: dulu
ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup
di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi
menjawab : orang yang mengubur anak
perempuannya hidup-hidup dan
anak yang dikuburnya berada
dineraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah
memaafkannya. Demikian hadist yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Al Nasa‟i,
dan dinilai sebagai hadis hasan secara sanad oleh imam Ibnu Katsir[13].
Hadist tersebut dinilai Musykil dari sisi matan
dan Mukhtalif dengan Al-Quran surat al Takwir ayat 8-9 :
#sŒÎ)ur äoyŠ¼âäöqyJø9$# ôMn=Í´ß™ ÇÑÈ Äd“r'Î/ 5=/RsŒ ôMn=ÏGè% ÇÒÈ
Artinya: dan apabila bayi-bayi perempuan yang
dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.(QS. At-Takwir:
8-9)
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat
dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk
keneraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadist tersebut
harus ditolak meskipun sanadnya Hasan, dan juga karena adanya pertentangan
dengan hadist lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad. Nabi
pernah ditanya oleh
paman Khansa‟, anak perempuan Mu‟awiyyah al Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa
yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad SAW akan masuk surga,
orang yang mati Syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga,
anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad).
C. Nasikh wa Al- Mansukh ( Membatalkan salah
satu dan Mengamalkan yang lain )
Pendekatan ini dapat dilakukan jika jalan taifiq tidak dapat dilakukan,
data sejarah kedua hadits yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas. Tanpa
diketahui taqaddum dan taakhkhur dari kedua hadits itu metode nasakh mustahil
dapat dilakukan,dan tidak lupu dari perhatian ahli hadits baik yang berhubungan
dengan kaidah tentang nasakh maupun pengumpulan hadits yang berkaitan dengan
nasakh itu sendiri.
Nasakh dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu:
1. Ada
penegasan dari Rasulullah, seperti nasakh larangan berziarah kubur.
2.
Adanya keterangan yang berdasarkan pengalaman, seperti keterangan bahwa
terakhir kali rasulullah tidak berwudhuk ketka hendak shalat, setelah
mengonsumsi makanan yang dimasak dengan api.
3.
Berdasarkan fakta sejarah, seperti batalnya puasa karena berbekam, lebih
awal datang daripada hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah sendiri berbekam
dalam bulan puasa.
4.
Berdasarkan ijmak, seperti hokum mati bagi orang yang minum arak
sebanyak empat kali. Nasakh ini diketahui secara ijmak oleh seluruh sahabat
bahwa hukum sepeti itu sudah dimansukh.[14]
Pentingnya ilmu nasakh dan mansukh hadits bagi siapa saja yang ingin
mengkaji hukum- hukum syariah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu
hukum tanpa mengetahui dalil nasakh dan mansukh. Oleh sebab itu para Ulama
mendefinisakannya sebagai berikut : Ilmu Nasakh dan Mansukh adalah ilmu yang
membahas tentang hadits- hadits yang bertentangan yang tidak mungkin
dikompromikan, dimana salah satu hadits dihukumi sebagai nasikh dan yang lain
sebagai mansukh. Hadits yang lebih dahulu disebut mansukh, dan hadits yang
datang kemudian menjadi nasikh[15].
Namun perlu diingat bahwa proses nasakh dalam hadits hanya terjadi disaat
nabi Muhammad Saw masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum
syara’, sesungguhnya hanyalah syari’, yakni Allah dan Rasulullah. Nasakh hanya
terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan
terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqroril hukmi)[16].
Salah satu contoh dua hadis yang saling bertentangan dan bisa
diselesaikan dengan metode naskh-mansukh
adalah hadist tentang
hukum makan daging kuda: “ yaitu
larangan makan daging kuda dan boleh memakan daging kuda”.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang demaksud
hadis-hadis mukhtalif adalah
hadis sahih atau
hadis hasan yang
secara lahiriah tampak saling
bertentangan hadis sahih atau hadis hasan lainnya. Namun makna yang sebenarnya
atau maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena
satu dengan lainnya sebenarnya dapat dikompromikan atau dicari penyelesaiannya
dalam bentuk naskh atau tarjih.
Jadi
dalam kajian Ikhtilaf al
hadis membahas hadits- hadits yang secara lahiriah saling bertentangan
(kontradiksi), untuk menghilangkan pertentangan itu harus mengkompromikan
keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar difahami atau
diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
B.
Saran
Dengan sangat menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Apabila dalam penyusunan bahasa atau karakter
yang berbeda, maka pemakalah meminta ma’af dan apabila ada kritikan atau saran
yang bersifat membangun baik dari dosen pembimbing maupun sahabat pemakalah
terima dengan penuh rasa terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Syaikh Manna’ Al-Qathathan, Pengantar Studi
Ilmu Hadits, (Pustaka Al-Kautsar), Jakarta Timur, 2005
Muhammad, Aljaj Al-Khatib,Ushul Al-Hadits
Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Media Pratama), Jakarta
Muhammad Ahmad- M.Mudzakir, Ulumul Hadits,
Untuk Fakultas Tarbiah Komponen MKDK.
.Abdul Mustaqim,M.A. Ilmu ma’anil
Hadits,Berbagai teori dan metode memahami Hadits Nabi; Yogyakarta;Idea
Pres,2008
Ali Hasabillah,usul Al-Tasyri Al-Islamy,dar
Al-Ma’arif, Mesir,Cet.V 1976.
Suhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual,( PT Bulan Bintang), Jakarta 1984.
Edi Sofri, di sertai Al- Imam Al-Syafi’i,
Metode Penyelesaian Hadits.
Al- Syaukany, Muhammad Ibnu Ali Ibnu
Muhammad, Irsyad Al- Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq Min Ilmu Al- Husul, Dar Al-Fikri,
Bairut
Muhammad Al-Jaj Al-Khatip, Ushulul Hadits,
Ulumuhu wa Musthalahuh: Bairut Dar Al-Fkr, 1989.
Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadits, (PT Raja
Grafindo Persada), Jakarta 2010
Daniel Juned, Ilmu Hadis para digma baru dan
rekontruksi ilmu hadis, (PT Golora Aksara Pratama), Erlangga 2010
No comments:
Post a Comment